Select Language

Minggu, 27 Januari 2013

Menghentikan Perang, Menata Dunia Baru

Invasi Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Irak telah meneteskan airmata keprihatinan warga dunia. Tetesan darah dan air mata yang menyayat hati terus mengalir mengiringi ambisi pihak-pihak yang tengah bertikai. Warga dunia pun mulai merasakan dampak invasi tersebut, baik langsung maupun tidak langsung. Ironisnya, ketika sebagian besar warga dunia mengecam agresi militer AS karena telah menyentuh nilai ketidakadilan, mereka tidak bisa melawan ketidakadilan tersebut, selain hanya melakukan tekanan moral. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memiliki otoritas untuk menegakkan keadilan (atau sekedar menghentikan perang) tidak dapat berbuat banyak. 

Apa yang sesungguhnya tengah terjadi pada warga dunia (para penentang pasif) yang mayoritas itu ? Kenapa ketika kesewenang-wenangan Amerika Serikat dan sekutunya telah menyentuh rasa keadilan, mereka tidak berani menentangnya secara tegas ? Apakah tatanan dunia yang sarat dengan ketidakadilan itu akan terus didiamkan saja tanpa ada perlawanan yang berarti ? Lalu, bagaimana menghentikan perang yang tengah terjadi, dan bagaimana menata kembali dunia baru yang relatif lebih aman dan damai ? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang terus membayang dalam pikiran warga dunia sekarang ini. 

***
Tidak ada kedamaian tanpa keseimbangan. Kedamaian merupakan suatu kondisi dimana sikap saling menghargai tercipta dengan dilatari kesadaran atau kesepakatan. Sikap tersebut akan lahir ketika ada keseimbangan diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Keseimbangan akan memaksa siapapun yang mempunyai kepentingan untuk mentaati tatanan kedamaian, baik secara sadar maupun atas dasar kesepakatan. Sikap sadar hanya akan tercipta ketika pihak-pihak yang berkepentingan masih memiliki moral, atau mengedepankan moral sebagai nilai yang mendasari hubungannya. Karenanya, tatanan moralitas hanya akan terbangun ketika terpenuhinya prasyarat akan keseimbangan antara kebutuhan dengan sumber-sumber yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Ketika sumber-sumber pemenuhan kebutuhan tersebut keberadaannya terbatas, maka pihak-pihak yang berkepentingan dihadapkan pada perjuangan untuk mendapatkan sumber-sumber yang terbatas itu (Struggle for life). Agar “perlombaan” tersebut fair, maka harus ada mekanisme yang disepakati oleh pihak-pihak yang berkepentingan, yang apabila ada yang melanggar maka akan dikenakan sanksi.

Inti dari uraian diatas adalah betapa pentingnya keseimbangan dalam menciptakan kedamaian. Sebaliknya, ketika kondisi dalam keadaan tidak seimbang, maka potensi terjadinya penindasan dari pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, terbuka lebar. Kondisi inilah yang kini terjadi di dunia, sejak Uni Soviet sebagai kekuatan penyeimbang runtuh pada akhir abad 20, dan menempatkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan super power.

Dengan memahami konstelasi politik internasional seperti inilah, Amerika dan sekutunya (Inggris dan Australia) berani menyerang Irak tanpa harus mendapat persetujuan dari Perserikan Bangsa-Bangsa, sebagai lembaga refresentasi kepentingan, bahkan seharusnya menjadi refresentasi kekuatan dunia. AS dan sekutunya memahami benar bahwa keseimbangan kekuatan politik riil tidak ada, dan konsentrasi kekuatan ada pada diri dan sekutunya.

Kondisi ini diperparah dengan hegemoni yang sudah cukup lama dilakukan AS terhadap PBB. Sehingga, arus kebijakan lembaga yang kini tengah dipimpin Kofi Anan itu, mengikuti kebijakan Washington DC. Dalam keadaan seperti itu, tentu kekuatan mayoritas warga dunia yang menentang invasi AS terhadap Irak, menjadi silent. 

Dalam konteks seperti itulah, perlunya sebuah kekuatan baru untuk membangun keseimbangan politik, guna menata dunia yang relatif bebas dari hegemoni kekuatan super power, selain tentu yang prioritas saat ini, yakni menghentikan perang. Ada dua pandangan tentang bagaimana menghentikan perang. Pertama, pandangan idealis yang didasarkan pada asumsi bahwa sikap dan tindakan seseorang ditentukan oleh niatnya, dan niat itu mesti didasari moral. Karenanya, sikap dan tindakan pihak-pihak yang sedang berperang bisa dipengaruhi ide, himbauan, usulan dan opini dunia yang meyakinkan bahwa serangan itu tidak sesuai moral. Langkahnya bisa berupa imbauan moral, usulan, diplomasi, dan dialog damai, atau demonstrasi besar-besaran menentang invasi AS atas Irak. 
Kedua, pandangan realis yang berasumsi bahwa politik internasional bersifat anarkis dimana masing-masing pelaku dengan segala cara berusaha mengejar kepentingan sendiri dengan memperbesar power, sehingga kondisi alamiahnya adalah bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua) seperti dikemukakan Thomas Hobbes, dan hukum alamiah yang berlaku bukan "yang benar menang, yang salah kalah," tetapi "yang kuat menang, yang lemah kalah." Selain itu, pandangan ini percaya bahwa "kekerasan hanya bisa dihadapi dengan kekerasan" (to meet force with force) dan bahwa "bila anda ingin damai bersiaplah perang" (si vis pacem para bellum).

Menurut kaum realis, langkah AS hanya bisa dicegah atau dihentikan oleh mereka yang punya power yang sama atau lebih kuat daripada AS. Menurut AFK Organski (World Politics), kekuatan itu tidak perlu hanya satu negara, tetapi bisa gabungan dua atau lebih negara.

Persoalannya sekarang adalah siapa atau negara mana yang bisa dan mau melakukan perlawanan terhadap pasukan AS dan sekutunya? Semua negara maupun lembaga non-negara hanya terbatas mengeluarkan pernyataan moral dan politik. Sejauh ini tidak ada yang mengumumkan sikap membela Irak dengan mengulurkan kekuatan militernya membantu Irak.

Perancis, Jerman, Rusia, dan RRC sampai kini masih menentang serangan atas Irak. Namun, mereka tidak menyatakan secara fisik akan membela Irak. Begitu juga negara-negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Iran, Suriah, dan Mesir.

Upaya menghentikan AS memang sudah coba dilakukan melalui desakan Sidang Umum PBB atau tekanan terhadap mata uang dollar AS, tetapi tidak ada yang menjamin hasilnya efektif. Upaya yang didasari pandangan idealis tampaknya tidak membuahkan hasil, karena alasan yang melatari Amerika bukan persoalan moralitas, sebagaimana reasoning mazhab idealis. Tapi atas dasar kepentingan strategis yang dipersepsikan AS selama ini. 

Setidaknya, ada empat faktor yang bisa menjelaskan sikap AS atas Irak, yaitu faktor nuklir, minyak, doktrin baru, dan faktor Saddam Hussein. Posisi kepemilikan senjata nuklir amat penting dalam meningkatkan political leverage suatu negara. Begitu suatu negara berhasil memiliki senjata nuklir, maka ia akan punya posisi tawar-menawar yang amat tinggi. Di satu pihak negara pemegang senjata nuklir baru itu tidak lagi mau dan mudah digertak dan dipengaruhi. Di lain pihak negara-negara besar lain tidak akan berani menekan seenaknya si pemilik senjata nuklir itu.

Negara-negara besar, seperti AS, tidak menghendaki ada negara pemegang senjata nuklir baru. Dan Irak saat ini dipandang masih sebagai calon pemilik senjata nuklir. Kenekatan AS menyerang Irak menunjukkan bahwa Irak sampai kini belum memiliki senjata nuklir. Karena itu, ia berusaha keras mencegahnya. Strategi preemptive strike (serangan yang mendahului) dan defensive intervention (intervensi defensif), dalam doktrinnya bisa memfasilitasi niatnya menyerang secara fisik Irak.

Soal minyak juga mempengaruhi pandangan dan sikap tentang Irak. Irak mempunyai posisi amat strategis, karena menyimpan cadangan minyak terbesar kedua dan belum sepenuhnya dieksploitasi (cadangan Irak 112,5 milyar barrel, dengan produksi 2,4 juta barel per hari; cadangan Arab 261,8 milyar barrel dengan produksi 8,8 juta barel per hari). 
Logikanya, bila pemimpin Irak bisa dikuasai atau dijinakkan, maka AS akan lebih mudah memegang kendali kekuasaan atas kawasan minyak dunia itu. Bila Irak tidak, kepentingan strategis AS dan peluang bisnis para pengusaha minyak AS akan hilang. Dengan menyerang dan membentuk penguasa baru yang pro-AS di Irak, maka terbuka peluang besar untuk menjamin kepentingan strategis dan bisnis para pengusaha minyak AS di Irak.

Faktor lainnya adalah bahwa AS telah merubah doktrin pertahanannya, dari defensif menjadi ofensif. Dalam doktrin barunya itu, telah dimasukkan strategi baru, yaitu strategi preemptive strike dan defensive intervention. Sebagai pembuat doktrin, Bush sebagai Presiden AS, tentu dituntut merealisasikan doktrinnya tersebut. Kasus Afganistan misalnya, dan bahkan dengan pendekatan ini, seranganya terhadap Irak, dapat kita pahami. Selain itu, tampaknya Bush ingin mewujudkan obsesi menggulingkan Saddam sebagaimana dikampanyekan ayahnya sendiri, Presiden George Bush (1989-93). 

Dalam situasi dimana serangan militer atas Irak itu tidak dapat dihentikan, tampaknya hanya kebijakan preemptive strike (serangan yang mendahului) terhadap pasukan AS dan sekutunya di wilayah Timur Tengah. Persoalannya adalah apakah langkah itu akan menghentikan perang dan menyelesaikan masalah, atau sebaliknya, memperluas peperangan ? 

Namun, ditengah kebimbangan akan pilihan kebijakan guna menghentikan perang, keharusan untuk menata dunia baru yang didalamnya terdapat keseimbangan kekuatan politik, menjadi sangat mendesak. Karenanya, tidak ada pilihan lain, selain bagaimana membangun kekuatan koalisi antara negara-negara middle power di daratan Eropa, seperti Jerman dan Perancis, dengan negara-negara Asia seperti Cina, Rusia, Jepang, dan sebagian negara-negara Arab. Koalisi yang mereka bangun harus mendasarkan diri pada upaya untuk membangun keseimbangan politik, yang keberadaannya bisa memberikan rasa aman bagi seluruh negara-negara di dunia atas kemungkinan invasi AS dan sekutunya, dan bukan untuk membangun blok baru seperti era Perang Dunia II. Lebih dari itu, kekuatan penyeimbangan baru, jangan terjebak dalam upaya membangun diri sebagai kekuatan penindas baru. Karena itu, momentum ketidakadilan yang dirasakan oleh warga dunia sekarang ini, harus dijadikan landasan filosofis pendiriannya.

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner