Seperti dikutip dari buku "Usman dan Harun Prajurit Setia" yang ditulis sejarawan AL Lettu Laut Drs Murgiyanto yang diterbitkan TNI AL pada tahun 1989 menyebutkan pada Rabu sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TNI Tjokropranolo sebagai utusan pribadi Presiden Suharto datang ke penjara Changi. Tjokropranolo diantar Kuasa Usaha RI di Singapura, Kolonel A Ramli didampingi Atase AL Letkol Gani Djemat SH.
Mereka bertiga berhasil menemui Usman-Harun pada pukul 16.00 di balik terali besi. Ketiganya tidak melihat rasa takut dan gelisah pada Usman dan Harun. Usman-Harun bersikap sempurna untuk menghormati kedatangan ketiga petinggi itu. Disebutkan dalam buku itu, Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan berat menyampaikan pesan dari Presiden Suharto mengingat ini pertemuan yang terakhir.
"Hanya satu-satunya pesan yang disampaikan adalah Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan dihormati oleh seluruh Rakyat Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka berdua terhadap negara," demikian dikutip dari buku halaman 19.
Pada keesokan harinya, 17 Oktober 1968, Usman-Harun dibangunkan pukul 05.00, disuruh sembahyang menurut agamanya, dan dengan tangan diborgol dibawa petugas ke kamar kesehatan untuk dibius. Dalam keadaan tidak sadar, masing-masing urat nadi mereka dipotong sehingga mereka berdua lumpuh sama sekali. Lantas dalam keadaan lumpuh, tepat pukul 06.00 tali gantungan dililitkan ke leher mereka.
Dalam buku itu pula, disertakan isi surat Keputusan Presiden RI Nomor 050/TK/Tahun 1968 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan dan Tanda Kehormatan Bintang Sakti yang diteken Presiden Suharto di Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar