Tidak sepantasnya Singapura sebagai negara mempermasalahkan urusan dalam negeri Indonesia."Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai aneh dan tidak sepantasnya Singapura mempermasalahkan nama Kapal Republik Indonesia (KRI) TNI-AL menggunakan sosok pahlawan nasional Usman dan Harun.
"Tidak sepantasnya Singapura sebagai negara mempermasalahkan urusan dalam negeri Indonesia," ujarnya di Jakarta, Kamis.
Pemerintah Singapura menyampaikan keprihatinan karena Sersan Dua Anumerta Usman Janatin dan Kopral Dua Anumerta Harun Thohir sebagai prajurit Korps Komando Operasi (KKO) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) yang yang sejak 1975 menjadi Korps Marinir pernah meledakkan satu gedung di Singapura pada 10 Maret 1965.
Saat itu Usman dan Harun menjalani tugas dalam Operasi Dwikora saat konfrontasi RI dengan Malaysia, sebelum Singapura memisahkan diri. Keduanya tertangkap dan dihukum gantung hingga tewas oleh Pemerintah Singapura pada Oktober 1968.
Pemerintah RI menganugerahi Usman dan Harun penghargaan Bintang Sakti sekaligus menjadi Pahlawan Nasional, serta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto dan Juru Bicara TNI-AL telah menyikapi keprihatinan Singapura tersebut dengan tidak menanggapi karena menilai sebagai bentuk intervensi kebijakan Pemerintah Indonesia oleh Singapura.
Hikmahanto menilai, sikap Singapura itu bertentangan dengan prinsip non-intervensi yang termaktub dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Piagam Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Pengungkapan keprihatinan Singapura, dinilainya, justru berpotensi merusak hubungan baik antarkedua negara.
Ia juga mengemukakan, pernyataan sikap dari Menko Polhukam dan Juru Bicara TNI AL atas penamaan KRI Usman dan Harun sudah tepat.
"Pernyataan kedua pejabat ini sangat tepat dan patut diapresiasi," katanya.
Oleh karena, menurut dia, dalam suatu peperangan, termasuk ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia, tentu setiap negara yang menganggap prajuritnya meninggal secara heroik atas nama negara sebagai pahlawan.
Para prajurit ketika melakukan aksinya, menurut dia, tidak bertindak atas namanya sendiri atau kelompok, melainkan membawa nama negaranya.
Ketika para prajurit meninggal di medan pertempuran atau dikenai hukuman sebagai tawanan perang, bahkan hukuman mati, dikemukakannya, hal itu adalah hak dari negara sang prajurit untuk menentukan apakah layak dinilai sebagai pahlawan atau tidak.
Para prajurit mengangkat senjata dan terkadang harus melakukan pembunuhan karena negaranya sedang berperang, kata Hikmahanto.
"Memang bisa saja pihak yang menang perang akan menganggap prajurit yang kalah perang sebagai pecundang atau pelaku kejahatan internasional," ujarya.
Ia membandingkan, di Jepang saat Perdana Menteri Shinzo Abe dikritik oleh China dan Korea Selatan karena mengunjungi Yasukuni Shrine sebagai tempat para tokoh militer Perang Dunia II karena China dan Korsel melabel para petinggi militer tersebut sebagai penjahat perang.
Namun, katanya, PM Abe menganggap mereka sebagai pahlawan.
Kalau saja keprihatinan Singapura didengar dan pemerintah Indonesia mengubah kebijakannya, maka nama-nama layaknya Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin dan I Gusti Ngurah Rai tidak boleh digunakan sebagai sosok pahlawan karena mungkin Belanda akan tersinggung dan memiliki keprihatinan. (*)
0 komentar:
Posting Komentar