Select Language

Sabtu, 22 Februari 2014

Di Laut Kita Dihina

Jalesveva Jayamahe, merupakan semboyan tentara nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), yang artinya di Lautan Kita Jaya. Selayaknya demikan, negeri kita dijaga oleh Angkatan Laut yang disegani negara lain,  karena sebagian wilayah kita terdiri dari perairan. Bila saja perairan itu tidak dapat dijaga secara serius, maka tidak aneh bila laut kita kerap kali dilanggar oleh negara lain atau nelayan asing. Dalam sepekan terakhir terjadi tiga peristiwa di laut yang menunjukan bahwa posisi bangsa kita sepertinya dihina oleh negara-negara tetangga.

Kasus yang paling tragis adalah pembakaran perahu nelayan Indonesia dan pembuangan ke laut oleh militer Angkatan Laut Papua Nugini. Seperti diberitakan, pembakaran speedboat  yang ditumpangi 10 nelayan asal Merauke, Papua berawal ketika perahu motor itu kedapatan memasuki wilayah perairan Papua Niugini oleh tentara Papua Niugini yang sedang melakukan patroli. Kasus ini  diketahui setelah 5 dari 10 orang nelayan berhasil berenang sejauh 8 kilometer dan melapor ke Pos Pengamanan Perbatasan TNI AL Kali Torasi. Selain membakar speed boat, tentara PNG juga merampas uang milik nelayan senilai 160.000 Kina atau setara dengan Rp 720 juta dan rokok satu karton. Nama nelayan yang selamat adalah; Yakobus Mahuze, Antonius Basik Basik,  Silvester Basik Basik,  Marselinus Maya Gebze, dan Andreas Mahuze. Sedangkan nama nelayan yang masih dinyatakan hilang adalah Alexander Tjoa,  Ferdinando Tjoa,  Roby Rahail,  Jhon Kaize, dan  Zulfikar Saleh. Tindakan tentara Papua Nugini tersebut terlalu berlebihan,  TNI harus  melakukan investigasi  supaya diketahui  secara lebih  dalam  apakah ada motif politik atau hanya sekedar masalah keamanan setempat. Kalau masuk area politik Menlu perlu menyampaikan protes keras, bahkan  perlu mempertimbangkan untuk  memanggil pulang Dubes RI di Port Moresby serta  mengusir Dubes PNG atau paling tidak Atase Pertahanan PNG  dari Jakarta. Sebaliknya jika hanya karena masalah keamanan, maka aparat keamanan Indonesia  juga harus bersikap tegas terhadap setiap pelanggaran pelitas batas dari PNG, baik di laut maupun di darat.

Kasus lain adalah pengusiran imigan gelap asal timur tengah ke wilayah teritorial laut Indonesia oleh militer Angkatan Laut Australia, mereka kemudian  terdampar di Pantai Pangandaran dimana terungkap dua imigran tewas sebelum tiba di Indonesia. Dari hasil pemeriksaan terhadap para imigran, diperoleh keterangan bahwa setelah mereka tiba di perairan Australia, para imigran tersebut tertangkap oleh Patroli Angkatan Laut dan Polisi Australia. Selanjutnya mereka ditampung delapan hari hingga akhirnya dilakukan pengusiran oleh pihak Kepolisian setempat. Dalam pengusiran itu, 36 orang imigran dinaikkan ke kapal besar milik Kepolisian Australia menuju laut lepas antara Indonesia dengan Australia. Selanjutnya para imigran diturunkan ke laut lepas dengan menggunakan sekoci, saat akan dinaikkan dua orang imigran melakukan perlawanan dan disiksa hingga tewas. Kedua imigran tewas itu dibuang ke laut, sementara 34 orang dinaikkan ke dalam sekoci sampai akhirnya terdampar di Pantai Barat Pangandaran. Menanggapi pengusiran imigran gelap dari wilayah perairan Australia ke Indonesia,  Wakil Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Ketahanan DPR,  Tubagus Hasanuddin menyatakan bahwa  tindakan ini melanggar hak asasi manusia dan konvensi internasional tentang perlindungan imigran. Pengusiran juga dapat menimbulkan ketegangan politik antara kedua negara  bila Australia terus-terusan melakukan provokasi dengan mengembalikan para imigran ke Indonesia. Padahal  Indonesia bukan negara asal imigran gelap yang ingin menuju Australia. Seharusnya Australia mencari solusi yang lebih tepat yakni melakukan kordinasi dengan negara-negara yang dilintasi seperti Indonesia , Singapura, dan  Malayasia. Sedangkan negara asal semisal Irak , Afgan dan Pakistan harus dilibatkan. United Nations High Commissioner for Refugees atau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi juga dimintai pertimbangan.

Sementara itu kasus  lain yang menarik perhatian publik dan mendapat berbagai tanggapan dari petinggi kedua negara adalah keberatan pemerintah Singapura atas penamaan tiga korvet terbaru TNI AL, yaitu KRI Bung Tomo-357, KRI John Lie-358, dan  KRI Usman-Harun-359. Versi Singapura, nama KRI Usman-Harun menyakiti perasaan mereka sehingga selayaknya diganti saja. Keberatan Singapura dilatarbelakangi oleh peristiwa konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia tahun 1962-1966. Saat itu Singapura masih menjadi bagian dari Malasysia. Akibat konfrontasi tersebut, pada 10 Maret 1965 dua anggota Korps Komando atau KKO (kini Marinir) Indonesia, yakni Usman Haji Mohamed Ali dan Harun Said melakukan pengeboman di MacDonald House, Orchard Road, Singapura, yang menewaskan tiga orang dan melukai 33 lainnya. Keduanya tertangkap setelah melakukan pengeboman dan gugur setelah dihukum mati oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968. Jenazahnya lalu dikirim ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena mereka dianggap sebagai pahlawan nasional. Mereka adalah pahlawan nasional Indonesia, sehingga pemberian nama mereka kepada kapal perang Indonesia adalah bentuk penghormatan bangsa ini kepada pahlawannya. Karena itu pemerintah tidak perlu merespon tuntutan pemerintah Singapura dan keberatan dari keluarga korban peristiwa pengeboman tersebut.

Tiga peristiwa itu menunjukan bahwa martabat bangsa Indonesia tidak dihargai lagi oleh negara-negara sahabat itu, baik Papua Nugini, Australia, dan Singapura. Di laut  kita sedang dihina, karena itu pemerintah Indonesia harus menegaskan sikap dan potensi politik diplomatiknya. Penghinaan itu terjadi karena bangsa ini belum bersatu, bangsa ini memang sedang punya masalah.  Bangsa yang satu  dengan persatuan membangun satu kekuatan tidak akan dihina. Jika bangsa lain  berani menghina kita, berarti bangsa ini lemah. Oleh karena itu,  bangsa ini tidak boleh mengedepankan luapan emosi,  tetapi justru yang paling penting adalah sikap introspeksi kenapa sampai kita dihina dan dilecehkan. Semua elemen bangsa saat ini  harus membangun kesatuan agar tidak dihina lagi. Tidak ada  pemerintah kuat yang akan berani dihina, apalagi oleh bangsa kecil seperti PNG.

*) Penulis di Forum Dialog (Fordial), Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner