Penulis: Arif Giyanto
Jakarta, JMOL ** Tampaknya, intensitas rezim Internasional pada 2014 secara perlahan mulai menunjukkan titik didih. Hal ini dapat dilihat pada empat peristiwa penting. Demikian disampaikan pakar geopolitik, Suryo AB, kepada JMOL, Jumat (2/5).
Pertama, kunjungan Obama minggu lalu ke Jepang. Secara tegas, Amerika Serikat (AS) menyatakan dukungan pada Jepang soal sengketa Pulau Senkaku/Diaoyu. Kedua negara membangun kerja sama pertahanan, di mana Jepang berkonflik dengan Tiongkok.
Kedua, kunjungan Obama ke Korea Selatan menyatakan dukungan dalam bidang keamanan dengan memberikan kontrol masa perang secara penuh selama menghadapi Korea Utara.
Ketiga, pembaruan kerja sama basis militer AS di Filipina dengan menempatkan pasukan dan teknologi militer. Kerja sama tersebut menegaskan pendapat Aquino yang dikutip kantor berita Tiongkok, ‘to confront China with US backing’.
Kunjungan terakhir Obama ke Malaysia, untuk membesarkan hati atas peristiwa jatuhnya pesawat MH370.
“Secara jelas dapat dilihat, political behavior AS menunjukkan siap berkonfrontasi dengan negara mana pun yang dapat mengganggu stabilitas kawasan di Asia Pasifik,” ujar Suryo.
Menurutnya, walau selama enam dekade negara-negara di kawasan Asia Pasifik sangat tergantung keamanannya kepada AS, namun kemunculan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi telah dan tidak diragukan lagi akan membuat ketergantungan negara-negara kawasan di bidang ekonomi terhadap Tiongkok, mengancam program TPP (Trans Pacific Partnership).
Apalagi Tiongkok menunjukkan dirinya sebagai Asian Big Brother dengan bergabung ke dalam RCEP (Regional Comprehensif Economic Partnership).
“Dengan agresivitas Tiongkok dalam mengklaim teritorialnya yang mengancam kedaulatan negara-negara Asia, AS melakukan pendekatan keamanan dan jelas mendukung negara-negara di kawasan yang merasa terancam oleh Tiongkok,” ungkap akademisi Universitas Nasional Jakarta itu.
Suryo menjelaskan, apabila Tiongkok menarik simpati negara-negara di kawasan dengan pendekatan ekonomi untuk melenggangkan otoritas power, AS sebagai negara dengan kekhasan kebijakan politik luar negerinya yang realis tetap menawarkan jasanya di bidang keamanan untuk merayu negara-negara di kawasan.
“Bagaimana dengan Indonesia? Berharap pemimpin Indonesia berikutnya dapat memainkan perannya secara bijak, dengan tidak terlalu berpihak berat sebelah kepada salah satunya seperti yang dipraktikkan Presiden SBY. Karena posisi geopolitik dan geostrategi Indonesia lebih diperhitungkan negara-negara di kawasan sebelum mereka menerima proposal kedua negara besar ini (AS dan Tiongkok),” pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar