Penulis: Fany Dayang Sary
Jakarta, JMOL ** Untuk memperluas kehidupan nasional berorientasi daratan—sejumlah 30 persen dari Tanah Air—dengan menjangkau kelautan—70 persen dari Tanah Air—mencapai sepenuh Tanah Air, Indonesia harus segera memiliki Garis-garis Besar daripada Haluan Negara (GBHN) sebagai platform nasional.
Selain itu, menjadikan pembangunan kelautan sebagai keutuhan pembangunan Tanah Air. GBHN menegaskan arah pembangunan, menetapkan ketahanan, strategi, dan prioritas pembangunan. Budaya merencanakan dan menata pembangunan nasional.
Demikian disampaikan Prof Sri Edhie Swasono, Sabtu (3/5) dalam diskusi panel Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) seri kedelapan bertemakan ‘Pengaruh Eksternal terhadap Sinergi Budaya Maritim’ di Hotel Sultan, Jakarta.
Edhie membahas ‘Pengaruh Ekonomi dan Perdagangan Internasional pada Masyarakat Maritim’. Pada penjelasan awal, ia memberikan data melalui bukunya berjudul Meluruskan Kelengahan Kultural: Indonesia Negara Maritim. Penerbitan buku ini sengaja memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2014.
“Kemerdekaan bangsa Indonesia sebenarnya adalah pernyataan budaya. Dalam pernyataan kemerdekaan bangsa, kita menyatakan bahwa kita bukan lagi anak atau bangsa rendahan tapi kita adalah merdeka,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dulu bangsa paling tinggi adalah Eropa, sementara bangsa Indonesia menjadi kelas bawah.
“Mohammad Hatta merumuskan tugas dari kemerdekaan bangsa ini adalah melindungi segenap bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia, menjaga kemerdekaan abadi dan keadilan sosial,” tutur Prof Edhi.
Menurutnya, permasalahan besar yang terlihat pada bangsa ini adalah mengakarnya budaya dan pendidikan yang mempengaruhi aspek-aspek lain. Faktanya sekarang, masyarakat Indonesia setelah merdeka tidak mampu mengakomodasi pemikiran yang karatan dan mengidap budaya-budaya luar.
“Contohnya saja di dalam perdagangan, dulu pada masa penjajahan Belanda, pegawai negeri itu disebut tukang wukuh. Setelah merdeka diubah namanya sebagai pamong. Akan tetapi, sikap pekerja sebagai pamong masih tergambar seperti waktu dijajah. Jadi, dengan kata lain kita gagal dalam meyanggupi tuntutan budaya. Kita masih saja berkiblat ke Nederland dan bersikap seperti halnya mereka. Sehingga kita tidak bisa to be more, hanya berdiam diri,” ungkapnya.
Perang Ideologi
Sir Walter Raleigh (1554-1618) menyatakan, “Siapa yang menguasai laut, ia akan menguasai dunia.” Gajah Mada dengan Sumpah Palapa dan Wawasan Nusantara pada abad ke-14 telah mendahului diktum Barat ini.
Para penjajah menguasai posisi strategis geografis Indonesia untuk melakukan eksploitasi demi kepentingan ekonomi dan perdagangan. Mereka berusaha mematahkan dominasi dan orientasi kelautan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
“Saat ini, sekitar 60 persen perdagangan global melewati laut kita, menuju South China Sea dan seterusnya dengan nilai perdagangan sekitar US$ 5,3 triliun. Dari sejumlah ini, US$ 1,2 triliun milik AS. Tidak kurang dari 70.000 kapal per tahun melewati perairan kita. Perdagangan dunia marak melewati Indonesia melalui Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makassar, dan terus meningkat sesuai dengan perkembangan perekonomian dunia di Pasifik, Timur Tengah, dan Eropa,” ujar Edhi.
“Secara sadar maupun tidak, sebenarnya ini merupakan perang ideologi. Salah satunya adalah melalui pendidikan, yaitu melumpuhkan mindset melalui kurikulum. Generasi bangsa kita tidak lagi mempunyai Ground Zero (Titik Koordinat) sehingga tidak mengetahui bangsa sendiri. Bagaimana mereka akan menjaga segenap Ibu Pertiwi ini?” katanya.
“Ini adalah pembunuhan sistem pendidikan. kita menjadi nobody di mana pun. Kita kehilangan semua kedaulatan. Kita tidak berdaulat bibit, kita tidak berdaulat oba-obat dasar hanya sebagai peracik, kita tidak berdaulat energi dan teknologi, kita tidak berdaulat industri, dan juga kita tidak mempunyai kedaulatan besi dikarenakan tidak punya mesin untuk mengolahnya. Jadi, saatnya untuk membangkitkan kedaulatan di lautan dan sistem pendidikan yang baik agar berdampak pada aspek lain.
0 komentar:
Posting Komentar