Select Language

Senin, 19 Mei 2014

Strategi Gerilya Udara: Membawa Perang Asymmetric ke Udara

Latar belakang
Dalam tinjauan aspek pertahanan, sebuah negara kepulauan seperti Indonesia tentunya dihadapkan pada tantangan yang khas. Dengan pemahaman bahwa luas wilayahnya sekitar 1.9 juta km2, jumlah pulaunya lebih dari 17 ribu dan 2/3 bagiannya adalah lautan haruslah menjadi dasar kerangka berpikir aspek pertahanan. Hanya Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste yang berbatasan darat dengan Indonesia; selebihnya, pagar terluar justru berada di lautan, dan tentu saja di udara. Sudah sewajarnya
apabila Indonesia memiliki pertahanan laut (seapower) dan pertahanan udara (airpower) yang kuat.
Namun, tampaknya masih diperlukan waktu yang cukup lama untuk membentuk postur seapower dan airpower yang diinginkan. Bila mengacu pada perkembangan kekuatan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), maka paling tidak, baru pada tahun 2025 kita dapat mencapai postur TNI AU yang ideal. Ini artinya selama 15 tahun mendatang, seapower dan khususnya airpower masih dalam keadaan lemah. Kelemahan ini tidak hanya terhadap ancaman kekuatan militer negara maju di selatan, seperti Australia, tapi juga negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Hal inilah yang mendasari pemikiran perlunya sebuah strategi khusus untuk menghadapi ancaman yang mungkin timbul dihadapkan pada airpower Indonesia yang masih lemah.
Strategi ini bisa dikatakan sebagai pemikiran alternatif yang berjalan paralel dengan pengembangan kekuatan TNI AU yang terarah, terencana, dan terukur. Strategi ini secara aktif melibatkan masyarakat dirgantara Indonesia dan sepenuhnya mengandalkan kekuatan nasional. Sehingga dapat dikatakan strategi ini merupakan kartu truf dan sekaligus surprise element bagi setiap negaranya yang mengancam NKRI melalui udara. Itulah sebabnya strategi ini disebut dengan Strategi Gerilya Udara.
Pokok-pokok Gerilya Udara
Walau menggunakan kata gerilya, konsep gerilya udara memiliki banyak perbedaan dengan pengertian gerilya yang selama ini kita kenal. Hal ini terutama terkait dengan media udara yang digunakan, sehingga gerilya udara tidak lepas dari teknologi. Tentu saja yang menjadi rakyat dalam konteks ini adalah masyarakat Indonesia yang mencintai dunia kedirgantaraan. Pokok-pokok Gerilya Udara adalah:
1. Gerilya udara adalah bentuk perang asimetris di udara.
Gerilya Udara sesungguhnya adalah upaya yang dilakukan insan udara, manakala negara membutuhkan. Gerilya Udara dapat didefinisikan sebagai perlawanan semesta masyarakat dirgantara terhadap ancaman dan serangan lawan dengan memanfaatkan media udara. Konsep ini muncul untuk mengantisipasi bila kekuatan udara nasional telah lumpuh sebagai akibat dari airpower lawan lebih dominan. Secara prinsip, ketika alat utama sistem senjata (alutsista) AU telah hancur, maka personil AU selanjutnya hanya akan melakukan perlawanan tanpa kekuatan udara dan hanya mengandalkan persenjataan seadanya. Dapat dikatakan pada saat itu, AU lumpuh dan kembali menjadi infantri. Namun dengan konsep Gerilya Udara, maka para insan udara tidak akan kehilangan jati dirinya. Mereka tetap dapat bertempur menggunakan segala cara yang menggunakan media udara. Hal yang sama berlaku pada kekuatan laut. Bila kekuatan laut lumpuh, maka Gerilya Laut adalah hal yang harus dilakukan pada insan laut.
2.Gerilya Udara bertujuan untuk menghadapi kekuatan udara yang lebih superior
Perang asimetris di udara ini sesungguhnya adalah cara yang digunakan oleh si lemah untuk mengahadapi yang kuat, si kecil menghadapi si besar, David vs Goliath. Mengingat konsepnya yang tidak lazim, maka ini bisa menjadi kartu truf dalam rangka pertahanan udara nasional. Namun bila infrastruktur gerilya udara telah terbentuk, bahkan strategi gerilya udara dapat ditingkatkan perannya, dari kekuatan bertahan (defensive) menjadi menyerang (offensive).
3. Kekuatan inti Gerilya Udara bersumber dari kekuatan industri dan masyarakat dirgantara Indonesia
Adanya prasyarat penguasaan teknologi, menjadikan Gerilya Udara amat bergantung pada kekuatan industri dirgantara pada semua lini. Mulai teknologi sederhana seperti pemanfaatan aero-modeling dengan remote control hingga ke tactical unmanned aerial vehicle (UAV). Penguasaan teknologi elektronika juga merupakan salah satu kunci Gerilya Udara. Dalam kondisi kelumpuhan TNI AU dimana sebagian besar alutsistanya telah hancur, maka insan TNI AU bergerak bersama masyarakat dirgantara untuk melanjutkan perjuangan melalui media udara.
4. Infrastruktur Gerilya Udara,
  • Organisasi. Bersifat dinamis, tergantung situasi di lapangan. Intinya terdapat penanggungjawab dan bagian operasional sampai ke tingkat nasional.
  • Personil. Melibatkan seluruh personil yang aktif dalam komponen airpower, seperti para pekerja di industri dirgantara, akademisi, TNI AU hingga masyarakat pecinta dirgantara.
  • Logistik. Penyusunan logistik awal didukung sepenuhnya oleh negara. Dalam kondisi perang total, maka survivability masing-masing unit tergantung sepenuhnya pada unit-unit itu sendiri. Diasumsikan bahwa infrastruktur yang mendukung airpower telah hancur atau diambil alih musuh.
  • Doktrin Operasi.
  1. Sebagai Kekuatan Defensif. Dilaksanakan pada fase awal serangan lawan, melalui media darat, laut, dan udara. Kekuatan udara musuh yang superior akan coba dihambat, dinetralisir dan dihancurkan sebelum masuk ke wilayah udara nasional.
  2. Sebagai Gerilya Udara. Dilaksanakan pada fase dimana musuh telah masuk dan menguasai serta menduduki sebagian wilayah nasional. Upaya yang dilakukan bermaksud untuk:  (A.) Memberikan perlawanan sekeras mungkin, selama fase perang berlarut. Contohnya adalah perlawanan yang dilakukan oleh macan Tamil yang menggunakan pesawat swayasa untuk menghancurkan kekuatan udara pihak pemerintah Srilanka. (B.) Membuat lawan lelah, dengan menggunakan aset-aset udara yang ada. (C.) Berusaha merebut aset-aset udara lawan.
  3. Sebagai Kekuatan Ofensif. Bila kekuatan udara musuh bisa dinetralisir, maka kekuatan gerilya udar semula bersifat defensif dapat digunakan untuk keperluan ofensif
  4. Aset. Semua aset dirgantara yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam rangka gerilya udara. Aset merupakan kombinasi dari milik TNI, TNI AU, industri, masyarakat dirgantara dan aset musuh yang berhasil direbut.
  5. Pembinaan Masyarakat Dirgantara. Tidak mudah untuk melibatkan masyarakat terhadap masalah pertahanan. Untuk itu, upaya pembinaan masyarakat dirgantara merupakan upaya yang terus berlanjut, baik ada atau tidak strategi Gerilya Udara.
Ancaman dari udara
Pada era modern saat ini, kekuatan udara diyakini sebagai faktor dominan untuk memenangkan peperangan. Pada perang Irak, jelas terlihat bagaimana pentingnya kekuatan udara untuk melumpuhkan kekuatan Irak dan selanjutnya kekuatan darat USA-Inggris dengan mudah menaklukan penguasaan wilayah. Dalam perang Balkan, Serbia dipaksa takluk dengan adanya serangan udara yang presisi terhadap pusa-pusat militer dan pemerintahannya.
Di Afghanistan, hanya kekuatan udara koalisi yang mampu menekan Taliban. Tanpa kekuatan udara, maka pasukan koalisi akan sangat kesulitan menghadapi pejuang Taliban. Pasukan koalisi banyak mengandalkan Tactical UAV untuk menyerang Taliban jauh di pedalaman. Tidak mengherankan bila di banyak negara, pengembangan kekuatan militer, sama artinya dengan pengembangan kekuatan udara. Hal ini tidak hanya berlaku pada negara-negara maju, bahkan juga pada banyak negara berkembang seperti yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. Negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand terus meningkatkan kekuatan udaranya. Indonesia jelas melihat hal ini sebagai ancaman. TNI menyadari bahwa TNI AU secara head-to-head saat ini jelas belum mampu menghadapi ancaman ini. Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional) yang merupakan satu-satunya Kotama (Komando Taktis Utama) Operasional di bawah Mabes TNI hampir dapat dipastikan akan lumpuh dalam beberapa jam setelah terjadinya serangan udara lawan. Untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman serangan udara, maka baik dalam perang Simetris maupun dalam perang Asimetris ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Waktu datangnya ancaman Hal ini lebih terkait dengan kesiapan Indonesia sendiri untuk menghadapi bahaya udara. Karena untuk menyiapkan infrastruktur gerilya udara bukan perkara mudah. Sehingga waktu datangnya ancaman sesungguhnya merupakan time frame kesiapan pertahanan udara nasional itu sendiri dan dapat dibedakan sebagai berikut :
a) Pada fase ini, akan ada penambahan pesawat kelas sebagai pengganti F-5 (dan mungkin Hawk 100/200). Sistem senjata sudah mulai dilengkapi. Namun perlu diingat, kekuatan udara lawan juga akan semakin meningkat. Sehingga diperkirakan TNI AU tetap belum mampu mengatasi bila terjadi serangan udara. Di sisi lain, infrastruktur gerilya udara sudah terbentuk dan dapat dijadikan komplementer untuk upaya pertahanan udara nasional.
B) Jika tidak ada halangan setelah 15 tahun mendatang akselerasi perkembangan TNI AU sudah mendekati postur ideal yang diharapkan. Pesawat generasi 4.5 KFX yang merupakan joint production antara Indonesia dan Korea Selatan mulai mengisi skadron-skadron udara TNI AU. Sehingga gap dengan kekuatan udara negara-negara tetangga sudah mengecil. Sementara kekuatan gerilya udara sudah tumbuh, tidak hanya berperan sebagai kekuatan defensif bahkan dapat ditingkatkan sebagai kekuatan offensif.
2. Arah datangnya ancaman Bila dilihat secara geografis, maka arah datangnya ancaman udara akan datang dari:
a) Koridor Utara. Melalui Selat Malaka-Selat Karimata. Ancaman bisa datang dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Namun juga dari negara besar seperti, China dan USA.
b) Koridor Barat. Dari arah Samudra Hindia. Ancaman bisa datang dari pesawat-pesawat tempur dan peluru kendali jelajah yang diluncurkan dari kapal induk maupun armada perang USA.
c) Koridor Selatan. Dari arah Christmas Island maupun dari Australia. Dengan mempengaruhi perkiraan arah datangnya ancaman, maka asset gerilya udara terutama akan disebar pada ketiga wilayah ini.
3. Jenis ancaman Ancaman datang dari pesawat-pesawat tempur generasi ke-4 ke atas :
F-15 dan F-16 C/D (Singapura)
F-18, Su-27/30, Mig-29 (Malaysia)
F-111, F-18, F-35 (Australia)
Peluru kendali jelajah, F-15, F-16, F-18, F-117, B-1, B-2 (USA)
JF-17, J-10, J-11 (China)
Ini artinya kekuatan gerilya udara diarahkan untuk mampu menghadapi ancaman dari jenis pesawat dan senjata tersebut di atas.
US Army to fly ‘kamikaze’ drones (http://www.defencetalk.com)
Bentuk-bentuk Gerilya Udara
Menghadapi kekuatan udara yang superior, maka dibutuhkan cara-cara inkonvensional karena cara konvensional hanya akan menjadi sitting duck saja. Bentuk-bentuk gerilya udara yang dapat dilakukan antara lain:
1. Kombatan Wahana udara yang digunakan untuk perang antara lain :
a) Roket. Berupa roket darat ke udara, roket udara ke permukaan, roket permukaan ke permukaan. Melibatkan roket dengan pemandu dan tanpa pemandu.
b) UAV. Jenis UAV yang digunakan tidak perlu modern. Yang penting dibuat dalam jumlah besar dan fungsinya adalah sebagai UAV Kamikaze. UAV Kamikaze utamanya diarahkan untuk menghantam skadron-skadron fighter lawan yang superior. Kekuatannya terletak pada jumlahnya yang ribuan dan kesederhanaan dalam operasionalnya. Bagi UAV Kamikaze yang gagal mencegat skadron Fighter lawan, langsung diarahkan untuk menyerang negara lawan (bila jarak memungkinkan). Bila jarak tidak memungkinkan, diarahkan untuk melaksanankan misi selanjutnya (pada fase perang berlanjut).
c) Pesawat Swayasa. Merupakan pesawat-pesawat rakitan yang digunakan untuk memberikan kejutan dan kerusakan semaksimal mungkin pada kekuatan lawan.
Taruna/i SMKN 29 Penerbangan Jakarta merakit Pesawat Swayasa
2. Reconnaissance Menggunakan pesawat aero-modeling yang dilengkapi dengan kamera. Bila memungkinkan dapat diberikan payload tambahan seperti bom.
3. Pemanfaatan Gelombang Elektromagnetik Digunakan untuk ‘memanipulasi’ aset airpower lawan. Pengalaman Iran melakukan intersepsi UAV milik Amerika yang canggih, merupakan contoh yang menarik. Ada juga pemikiran untuk mengganggu peralatan navigasi lawan, sehingga pesawat lawan menerima data yang salah dan dapat mengacaukan bahkan menghancurkan misi yang
sedang dilaksanakan.

Perkiraan teknis
UAV Kamikaze yang digunakan, dirancang untuk memiliki kemampuan atau spesifikasi sebagai berikut:
1. Kecepatan hingga 250 kts
2. Dilengkapi dengan bom yang mampu meledak secara terfragmentasi
3. Memiliki alat kendali, lincah
4. Dilengkapi sensor gerak/sensor panas
5. Radius action ± 200 nm
6. Endurance ± 2 jam
7. Full authority
8. Harga berkisar US$ 100,000
Prototipe PUNA Wulung
Perkiraan biaya
Untuk membentuk sebuah skadron Fighter baru sekelas Su-27/30 yang terdiri dari 12 pesawat tempur, dibutuhkan anggaran sekitar USS 1 milyar. Dengan anggaran yang sama maka untuk mendapatkan UAV Kamikaze seharga USS 100.000, akan didapat sebanyak 10.000 UAV Kamikaze! Tentunya UAV Kamikaze ini adalah produk nasional, sehingga keberadaannya tidak diketahui pihak lain.
Unman Areal Viachle (UAV-530)
Penutup
Pemikiran tentang Gerilya Udara sesungguhnya masih mentah dan layak dikritisi di sana-sini. Namun hanya bentuk perlawanan seperti ini yang bisa dilakukan oleh insan udara manakala berhadapan dengan kekuatan udara lawan yang superior. Mau tidak mau, kita harus membawa perang asimetris ke udara. Bentuk perang sebanyak ini sangat fleksibel dan mengikutsertakan potensi masyarakat dirgantara Indonesia yang selama ini terabaikan. Efek samping (positif) dari Strategi Gerilya Udara adalah menggairahkan industri dirgantara nasional yang saat ini mati suri. Bahkan bisa mati sungguhan bila tidak ada kepedulian dari kita semua.
Smart eagle II
catatan : Tulisan ini merupakan pemikiran pribadi dan tidak mewakili institusi. Definisi ’musuh’ dalam tulisan ini juga merupakan penilaian pribadi.
(Ditulis oleh :  Kolonel Pnb Ir. Novyan Samyoga adalah tokoh militer Indonesia. )

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner