Select Language

Senin, 22 Juli 2013

Tiga Contoh Kasus Pelanggaran Etika Kehumasan

Peristiwa retaknya badan pesawat Adam Air 737-300
Rabu, 21 Februari 2007 pesawat Adam Air 737-300 dengan nomor penerbangan KI-172 dengan mengangkut 148 orang penumpang diberitakan mengalami keretakan badan pesawat di bandara Juanda, Surabaya. Media mengabarkan bahwa Manajemen Adam Air  tidak berterus terang mengenai keretakan badan pesawat tersebut, melainkan membantah pernyataan mengenai keretakan pesawat Adam Air 737-300. Pihak Adam Air sendiri terbukti melalui gambar yang tersebar di media bahwa telah mengecat seluruh badan pesawat menjadi warna putih dan menutup retakan dibelakang sayap pesawat menggunakan kain berwarna putih. Dari sejumlah bukti yang telah tersebar dimedia, PR Adam Air tetap membantah mengenai keretakan pesawat yang dialami oleh pesawat Adam Air 737-300, dan memilih tidak memberikan komentar mengenai berita pengecatan tersebut.
            Dari kasus tersebut ditemukan bahwa PR Adam Air telah melanggar kode etik kehumasan, yaitu :
a.       IPRA (International Public Relation Association) Code of Condut ; “Dalam IPRA Code of Conduct butir C disebutkan bahwa lembaga kehumasan tidak diperkenankan untuk menyebarkan secara sengaja informasi yang palsu atau menyesatkan.”. PR Adam Air dapat dikatakan melanggar kode etik karena terbukti tidak berterus terang perihak kejadian retaknya badan pesawat.
b.      Kode Etik Kehumasan (KEKI) ; Dalam salah satu butir ketentuan KEKI pasal III disebutkan bahwa anggota perhumasan tidak boleh menyebarkan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan.
Selain memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan kepada publik, dari tindakan pengecatan pesawat tersebut pihak Adam Air juga telah melanggar UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, yaitu pasal 34 ayat 2 yaitu “siapa pun dilarang merusak, menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian-bagian pesawat atau barang lainnya yang tersisa akibat kecelakaan, sebelum dilakukan penelitian terhadap penyebab kecelakaan itu. Ancaman hukuman bagi pelanggarnya adalah enam bulan kurungan serta denda Rp 18 juta.”

2.      Kasus lumpur Lapindo Brantas
Lebih dari lima tahun kasus lumpur Lapindo belum usai.  Lapindo yang dimiliki oleh Bakrie Group ini memang memiliki sumberdaya politik ekonomi yang dapat perpengaruh di Indonesia, bahkan Bakrie Group dapat menciptakan opini public mengenai lumpur Lapindo itu sendiri melalui media yang dimiliki. Pada 22 Oktober 2008 Lapindo Brantas mengadakan siaran pers mengenai hasil para ahli geologi di London. Pada konfrensi tersebut Lapindo menyewa perusahan Public Relation  untuk mengabarkan bahwa peristiwa tersebut bukan dari kesalahan Lapindo. Lapindo mengeluarkan statement bahwa kejadian tersebut akibat dari bencana alam, akan tetapi sejumlah ahli geolog dan LSM yang peduli terhadap kasus lumpur Lapindo ini tetap menganggap bahwa kejadian pengeboran Lapindo yang menjadi pemicu tragedy tersebut. Lapindo terus menutupi fakta dengan berbagai cara termasuk membuat iklan serta memecah belah warga memalui masalah ganti rugi hal tersebut dilakukan untuk mengarahkan pada opini public.
Dari kasus tersebut, maka PR Lapindo Brantas dapat dinyatakan telah melanggar kode etik profesi Public relation, yaitu :
a.       Pasal 2 mengenai Penyebaran informasi ; “seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak bertanggungjawab, informasi yang palsu atau yang meyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban menjaga dan ketepatan informasi.”. Lapindo dikatakan melanggar pasal tersebut karena Lapindo menyebarkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta.
b.      Pasal 3 mengenai Media Komunikasi ; “seorang anggota tidak akan melaksanakan kegiatan yang dapat merugikan integritas media komunikasi”. Lapindo dapat dikatakan melanggar pasal berikut karena Lapindo yang merupakan milik Bakrie Group dapat menciptakan opini public sendiri mengenai lumpur Lapindo itu sendiri melalui media yang dimiliki sehingga informasi yang diberikan meskipun tidak sesuai dengan kenyataan tetapi tidak menjatuhkan citra Lapindo.

3. Iklim Komunikasi di PT Citra Marga Nusaphala Persada tbk Berkaitan dengan Kondisi Perusahaan
Terdapat tiga permasalahan yang terjadi di CMNP yaitu stigma KKN, kinerja keuangan yang buruk, dan gugatan bagi hasil pengelolaan jalan tol dengan Jasa marga. Karyawan lebih menganggap pembagian revenue sharing dengan Jasa Marga yang paling menganggu eksistensi karyawan karena menyangkut kesejahteraan. hubungan antara bahawan dan atasan dalam CMNP berkaitan dengan informai tentang usaha repositioningdan keadaan negatif perusahaan terlihat tidak supportive, dimana para karyawan merasa bahwa atasan tidak membantu mereka dalam membangun dan memelihara rasa saling meghargai dan kepentingan semua pihak. Adanya jarak yang membatasi antara karyawan yang bekerja di lapangan dengan karyawan yang bekerja di kantor pusat maupun operasional.
Para karyawan lapangan merasa diperlakukan seperti mesin. Tidak adanya rasa saling menghargai dan kepentingan semua pihak antar anggota organisasi karena motivasi kerja karyawan dan anggota organisasi CMNP adalah untuk kepentingan pribadi. Karyawan hanya pasrah dengan keadaan tanpa ada usaha untu lebih meningkatkan komunikasi sampai pada taraf optimal, karyawan merasa lebih baik diam dan menerima apapun kebijakan manajemenn dengan harapan eksistensi karyawan tetap terjaga. Kejujuran atau keterusterangan atasan atau manajemen atas hasil kerja karyawan dirasakan kurang.
Departemen Komunikasi Korporat berfungsi sebagai jembatan antara manajemen dengan pihak internal maupun eksternal. Salah satu bentuk dari program Bidang Internal Departemen Korporat untuk menjawab kebutuhan komunikasi internal prusahaan diterbitkan buletin triwulan. namun tidak tepat bisa menjawab kebutuhan akan saluran komunikasi, dengan pemunculan media-media internal selain koordinasi oleh Depatemen Komunikasi Korporat. Menurut karyawan hal ini sebenarnya tidak sehat, selain tidak efisien juga mengkaburkan fungsi internal relations Departemen Komunikasi Korporat.Departemen komunikasi Korporat juga menerbitkan media internal warta Citra Marga, namun dinilai terlambat dan cenderung menjadi corong manajemen dan belum memberikn kesempatan komunikasi yang sifatnya bottom up. Komunikasi face to face menjadi hal yang sangat dirindukan oleh para karyawan.
Dari kasus tersebut, Departemen Komunikasi Koorporat yang diposisikan sebagai PR perusahaan tersebut tidak menjalankan etika profesi kehumasan dengan baik. Perusahaan tersebut dapat dinyatakan melanggar etika kehumasan karena :
a.       Pasal 3 mengenai Media Komunikasi ; “seorang anggota tidak akan melaksanakan kegiatan yang dapat merugikan integritas media komunikasi”. Dari sini CMNP dapat dikatakan melanggar pasal tersebut karena CMNP menciptakan suatu media komunikasi yang sifatnya belum dua arah.
b.      Pasal 8 mengenai memberitahukan Kepentingan Keuangan ; “seorang angota yang mempunyai kepentingan keuangan dalam suatu organisasi, tidak akan menyarankan klien atau majikannya untuk memakai organisasi tersebut atau pun memanfaatkan jasa-jasa organisasi tersebut, tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepentingan pribadinya yang terdapat dalam organisasi tersebut.”. CMNP dapat dikatakan melanggar pasal tersebut karena terbukti kinerja keuangan perusahaan tersebut cenderung tertutup dan memiliki kinerja buruk.
c.       Perusahaan CMNP juga melanggar kode etik Kehumasan Pemerintah mengenai hubungan kerja kewajiban dalam organisasi yang berbunyi “pengelola anggota/kehumasan pemerintah harus loyal kepada instansinya, memiliki kinerja berkomunikasi dan integritasmoral secara efektif, baik dalam jalur formal maupun informal dengan para pegawai instansi tempat pengelola / anggota kehumasan pemerintah.

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner