Jakarta - Ketergantungan energi yang sangat besar terhadap bahan bakar minyak (BBM) semakin menggerogoti APBN. Tahun ini, anggaran biaya subsidi untuk energi mencapai Rp 282 triliun, sekitar Rp 210 triliun untuk BBM dan Rp 84 triliun listrik. Nilai subsidi tersebut besar kemungkinan akan membengkak mengingat dua hal; pertama, nilai tukar rupiah masih diatas patokan APBN di Rp 10.500 per dollar AS. Kedua, produksi minyak terus menurun sehingga kebutuhan impor akan semakin besar.
Untuk memangkas beban subsidi yang semakin menjulang, konversi energi ke gas bumi menjadi salah satu solusi terbaik. Pertama, produksi gas bumi di dalam negeri melimpah. Kedua, harga gas bumi sepertiga dari harga BBM, sehingga lebih murah. Ketiga, penggunaan gas terbukti meningkatkan daya saing industri. Sebagai contoh penyaluran gas bumi oleh PGN sebesar 880 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), memberikan kontribusi bagi para pelanggan industri pengguna gas mencapai Rp 250 - 300 triliun pertahun terhadap GDP.
Meskipun gas bumi memiliki banyak manfaat dan dapat menjadi solusi ketergantungan energi terhadap BBM, namun program konversi BBM ke gas bumi berjalan lamban. Anggaran pemerintah di APBN yang diberikan kepada Pertamina melalui Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2012 untuk membangun SPBG dalam rangka percepatan konversi ke gas bumi tak terealisasi. Posisi Pertamina yang memonopoli impor dan distribusi BBM bersubsidi diduga menjadi penyebab sulitnya konversi BBM ke gas bumi, karena potensi adanya benturan kepentingan.
Konversi ke gas bumi berjalan lamban akibat banyaknya hambatan dalam pembangunan infrastruktur gas. Pemenang tender pipa kalija dan transjava yang telah ditetapkan 8 tahun lalu hingga kini tak membangun proyeknya. Sementara di berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Cirebon, dll industrinya terus tumbuh dan membutuhkan infrastruktur untuk mengalirkan gas. Bahkan di Sumatera Utara telah terjadi krisis kelistrikan karena kurangnya pasokan gas bumi.
Dalam Talkshow POLEMIK yang berlangsung di Grand Sahid, Jakarta. Prof Didik Rachbini selaku Ketua DPP PAN mengatakan bahwa tidak berkembangnya BBG dan gas di Indonesia karena adanya permainan politik anggaran yang membuat ketergantungan terhadap BBM begitu tinggi. Banyak kalangan takut jika gas berkembang di Indonesia maka para penikmat manisnya BBM akan kehilangan rezeki. Karena itu buat suatu kondisi dimana BBG dan gas menjadi tidak laku dan pembangunan infrastrukturnya dibuat mandeg.
Sementara itu, Pakar Migas UI, Prof Iwa Garniwa menilai pembangunan infrastruktur gas yang hanya 20 persen sampai saat ini menjadi bukti ketidakpedulian semua pihak terhadap pengembangan gas. Belum lagi soal open acces dan harga gas yang sampai saat ini belum jelas.
Effendi Simbolon dari PDIP merasa pemerintah tidak serius menyelesaikan masalah energi baik BBM maupun gas. Ini bisa dilihat dari tidak adanya penambahan kilang BBM karena kilang BBM yang ada sekarang adalah peninggalan era Soeharto. Sementara untuk gas, sama sekali belum dilirik terbukti BBG masih mandeg.
0 komentar:
Posting Komentar