VIVAnews - Selama ini, apron antiradiasi yang dijual di pasaran kurang memberikan rasa nyaman dan kemudahan bagi penggunanya. Padahal, apron anti radiasi merupakan salah satu alat pelindung yang wajib digunakan para pekerja agar tubuh terhindar dari paparan radiasi.
Empat mahasiswa Jurusan Teknik Nuklir Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yakni Akhmad Aji Wijayanto, Faiz Asyifaa Mohtar, Sita Gandes Pinasti, Firliyani Rahmatia N, serta Anggraeni Ayu R, mahasiswi Jurusan Pendidikan Dokter terpacu untuk membuat apron yang aman.
Empat mahasiswa Jurusan Teknik Nuklir Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yakni Akhmad Aji Wijayanto, Faiz Asyifaa Mohtar, Sita Gandes Pinasti, Firliyani Rahmatia N, serta Anggraeni Ayu R, mahasiswi Jurusan Pendidikan Dokter terpacu untuk membuat apron yang aman.
Mereka pun mulai mengembangkan apron berbahan kulit sintesis dengan filler timbal yang ringan dan fleksibel.
"Apron yang biasa dipakai, misalnya di unit radiologi rumah sakit dan instansi penelitian nuklir, terbuat dari pelat timbal berlapis kain, sehingga berat dan kaku, tertekuk sedikit saja bengkok tidak bisa kembali ke bentuk awal. Hal ini, tentunya menyulitkan pengguna dan tidak memberikan rasa nyaman," katanya, Kamis 17 Juli 2014.
Apron yang diberi nama RADEN (rompi anti radiasi pengion) ini terdiri dari tiga lapisan. Lapisan atas, atau luar berupa kulit sintetis. Kemudian, lapisan tengah merupakan lapisan utama berisikan campuran bahan PVC (Polyvinile Chloride), DOP (Dioctyl Phthalate) dan serbuk timbal (PbO dan PbCl2). Berikutnya, lapisan dasar, atau dalam yang berupa kain sebagai penguat apron.
Penggunaan berbagai bahan tersebut, menjadikan apron lebih fleksibel dan ringan. Bahkan, mampu menekan berat hingga 30 persen dibandingkan dengan apron pada umumnya. Sementara itu, rata-rata apron yang digunakan di rumah sakit memiliki berat hingga lima kilogram karena pembuatan yang menggunakan bahan berlapis-lapis.
"Tak hanya itu, dari segi produksi juga lebih hemat. Kalau apron di pasaran biasanya dijual di atas Rp2,5 juta, sedangkan apron ini menghabiskan biaya produksi sekitar Rp1,5 juta," jelasnya.
Sebelumnya, Akhmad dan rekan-rekanya melakukan uji atenuasi (pelemahan sinyal) gama terhadap berbagai macam variasi komposisi bahan. Proses ini untuk mengetahui kemampuan bahan dalam menyerap radiasi gama dengan sumber Cs-137. Komposisi terbaik dengan nilai koefisien atenuasi terbesar, selanjutnya akan digunakan sebagai bahan utama.
"Apron ini mampu menahan paparan energi gama tingkat sedang hingga 662 keV," ungkapnya.
Selain uji atenuasi gama, juga dilakukan uji tarik dan mulur bahan. Hasilnya diketahui, material apron dari kulit sintetis ini memiliki kekuatan tarik sebesar 500 N, melebihi standar SNI-1294 2009 yaitu sebesar 180 N.
"Kalau kemampuan mulurnya sampai 15 persen. Masih dalam batas standar kemampuan mulur bahan, yakni antara 13-20 persen. Jadi, apron ini sifatnya lentur dan fleksibel sehingga nyaman dipakai," tambah Faiz.
Faiz berharap, apron tersebut dapat mengakomodasi kebutuhan yang aman terhadap radiasi gama sedang, memberikan perlindungan terhadap radiasi, dan juga memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi para penggunanya.
"Semoga, karya kami ini bisa memberikan kontribusi positif bagi perkembangan sistem proteksi dan keselamatan radiasi di Indonesia," tuturnya. (asp)
"Apron yang biasa dipakai, misalnya di unit radiologi rumah sakit dan instansi penelitian nuklir, terbuat dari pelat timbal berlapis kain, sehingga berat dan kaku, tertekuk sedikit saja bengkok tidak bisa kembali ke bentuk awal. Hal ini, tentunya menyulitkan pengguna dan tidak memberikan rasa nyaman," katanya, Kamis 17 Juli 2014.
Apron yang diberi nama RADEN (rompi anti radiasi pengion) ini terdiri dari tiga lapisan. Lapisan atas, atau luar berupa kulit sintetis. Kemudian, lapisan tengah merupakan lapisan utama berisikan campuran bahan PVC (Polyvinile Chloride), DOP (Dioctyl Phthalate) dan serbuk timbal (PbO dan PbCl2). Berikutnya, lapisan dasar, atau dalam yang berupa kain sebagai penguat apron.
Penggunaan berbagai bahan tersebut, menjadikan apron lebih fleksibel dan ringan. Bahkan, mampu menekan berat hingga 30 persen dibandingkan dengan apron pada umumnya. Sementara itu, rata-rata apron yang digunakan di rumah sakit memiliki berat hingga lima kilogram karena pembuatan yang menggunakan bahan berlapis-lapis.
"Tak hanya itu, dari segi produksi juga lebih hemat. Kalau apron di pasaran biasanya dijual di atas Rp2,5 juta, sedangkan apron ini menghabiskan biaya produksi sekitar Rp1,5 juta," jelasnya.
Sebelumnya, Akhmad dan rekan-rekanya melakukan uji atenuasi (pelemahan sinyal) gama terhadap berbagai macam variasi komposisi bahan. Proses ini untuk mengetahui kemampuan bahan dalam menyerap radiasi gama dengan sumber Cs-137. Komposisi terbaik dengan nilai koefisien atenuasi terbesar, selanjutnya akan digunakan sebagai bahan utama.
"Apron ini mampu menahan paparan energi gama tingkat sedang hingga 662 keV," ungkapnya.
Selain uji atenuasi gama, juga dilakukan uji tarik dan mulur bahan. Hasilnya diketahui, material apron dari kulit sintetis ini memiliki kekuatan tarik sebesar 500 N, melebihi standar SNI-1294 2009 yaitu sebesar 180 N.
"Kalau kemampuan mulurnya sampai 15 persen. Masih dalam batas standar kemampuan mulur bahan, yakni antara 13-20 persen. Jadi, apron ini sifatnya lentur dan fleksibel sehingga nyaman dipakai," tambah Faiz.
Faiz berharap, apron tersebut dapat mengakomodasi kebutuhan yang aman terhadap radiasi gama sedang, memberikan perlindungan terhadap radiasi, dan juga memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi para penggunanya.
"Semoga, karya kami ini bisa memberikan kontribusi positif bagi perkembangan sistem proteksi dan keselamatan radiasi di Indonesia," tuturnya. (asp)
0 komentar:
Posting Komentar