Select Language

Minggu, 22 September 2013

Indonesia dan Konflik Laut China Selatan

ASEAN Defense Ministerial Plus Meeting (ADMM+) di Brunei Darussalam (photo:AP)CHINA:(DM) - ASEAN Defense Ministerial Plus Meeting (ADMM+) di Brunei Darussalam (photo:AP)
Meski ketegangan di Suriah semakin memuncak, Menteri Pertahanan Amerika Chuck Hagel memutuskan untuk tetap menghadiri pertemuan dua hari dengan Menteri Pertahanan ASEAN Defence Plus (ADMM+) di Brunei Darussalam, yang juga dihadiri: Jepang, Cina, Korea Selatan, Amerika Serikat, Russia, India, Australia dan Selandia Baru.

Isu utama dari pertemuan ini adalah membahas konflik Laut China Selatan yang semakin memanas. China berkonflik dengan negara Asean: Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei. Sementara di Laut China Timur, China berkonflik dengan Jepang tentang Pulau Senkaku.

Dalam beberapa tahun terakhir, China terlihat agresif untuk memperluas klaim teritorial mereka dan secara terang menyiapkan diri untuk berkonflik dengan sejumlah negara. Dengan alasan sejarah kepemilikan wilayah tiongkok tua, China mengklaim hampir 90 persen wilayah Laut China Selatan yang kaya sumber daya alam. Klaim China tersebut diperkuat dengan patroli kapal-kapal siap tempur yang dikirim ke wilayah konflik. Lebih dari itu China juga menawarkan block penjualan di wilayah sengketa, membentuk garnisun (markas militer) serta membangun pemerintahan administrasi baru di Sansha. Vietnam mencoba melawannya dengan secara rutin melakukan penerbangan militer ke Kepulauan Spratly, meskipun selalu diperingatkan China.
Filipina  dengan China juga demikian. Bahkan kapal-kapal militer Filipina yang patroli di daerah Karang Scarborough, diusir oleh armada perang China, setelah Philipina mengusir nelayan China yang melaut hingga ke Scarborough.


Negara-negara Asean itu tidak berdaya dan sikap China ini mendapatkan kritikan dari Amerika Serikat.
Dalam pidatonya Chuck Hagel mengingatkan bahwa klaim-klaim teritorial didasarkan sejarah dalam upaya memperluas teritorial, tidak mempengaruhi wilayah dan kedaulatan negara lain. Klaim-klaim tersebut justru akan meningkatkan konflik dan bisa memicu konfrontasi internasional.

Negara-negara ASEAN mendesak agar diberlakukan “code of conduct” untuk mencegah bentrokan sengit di Laut China Selatan yang strategis. Amerika Serikat mendukung gagasan itu namun China tidak berminat.

“Untuk sementara belum dicapai solusi antara China dan negara-negara ASEAN, pertemuan ini akan terus mendorong dihasilkannya suatu “code of conduct”, ujar Menteri Pertahanan Australia Stephen Smith.
Usai pertemuan, China justru membuat gebrakan yang mengejutkan dunia.  China menolak kedatangan Presiden Filipina ke Pameran Perdagangan di Nanning China.

China Tolak Presiden Filipina
Awalnya, Presiden Filipina Benigno Aquino berinisiatif untuk memimpin rombongan perdagangan dari negaranya ke Nanning,  namun pemerintah China mengatakan tidak pernah mengundang Aquino dan disarankan datang di waktu yang lebih tepat.
Sebelum peristiwa penolakan ini, China sempat marah  memperingatkan Philipina untuk tidak memperumit persoalan di Laut China Selatan dengan mengajukan sengketa kedua negara ke Mahkamah Internasional. China menyatakan komitmennya menyelesaikan sengketa  melalui dialog bilateral dan tentu Filipina tidak mau.
Sikap agresif  China ini mulai dibendung dibendung  Amerika Serikat yang antara lain menempatkan pasukannya di Pulau Cocos Australia. Negara Australia pun mulai memindahkan sejumlah pangkalan armada tempurnya ke wilayah Utara Australia, demi mewaspadai ancaman China.
Apakah Indonesia bisa terseret dengan kasus konflik Laut China Selatan ?.

Ring 1 dan Ring 2 Garis Pertahanan Laut China (Grafik:mil.huanqiu.com)

Diagram of the first and second island chains of China


china-claim-sea
two-island-chain-strategy 
Sebuah laporan rahasia tak sengaja ter-posting ke internet oleh staf inteligen laut Amerika Serikat yang menyatakan bahwa  Angkatan Laut China (PLA Navy) telah membuat perkembangan cepat terhadap berbagai  platform persenjataan modern.
Dalam tahun tahun terakhir, strategi Angkatan laut China difokuskan untuk menjelajahi  daerah yang disebut first island chain, yang meliputi Laut China Selatan hingga ke Selat Malaka, Laut Philipina di atas Okinawa, hingga ke Laut Jepang.

Adapun strategi second island chain lebih mengerikan lagi. Angkatan Laut China memilliki  dua tujuan strategis dari second island chain: Penyatuan /reunifikasi dengan Taiwan dan membuat garis pertahanan di jalur perdagangan laut. Menurut laporan intelijen yang bocor, Angkatan Laut China  telah memperkuat kemampuan mereka, apabila pada masa depan harus berkonflik dengan Amerika Serikat atas Kasus Taiwan.

PLA Navy telah melakukan program anti-access and anti-surface warfare dan  secara simultan menyusun  struktur “the command, control, communications, computers, intelligence, surveillance, and reconnaissance (C4ISR)”, untuk keperluan  joint operation.
Angkatan laut China kini memiliki 53 kapal selam diesel dan 9 kapal selam nuklir yang jumlahnya terus ditingkatkan dan dilengkapi rudal SS-N-22 Sunburn serta SS-N27 Sizzler anti-ship cruise missiles (ASCM).
Rudal ASCM  yang juga dipasang di garis pantai sebagai anti-ship ballistic missiles, keduanya memiliki kemampuan “mid-course ballistic corrections” (bisa mengubah target di tengah penerbangan) yang ditujukan untuk menggagalkan platform pertahanan rudal anti balistik. Hal ini tentunya meningkatkan ancaman terhadap kapal induk AS yang beroperasi di sekitar Laut Taiwan.

Ketergantungann China yang semakin meningkat terhadap energi yang dimpor menciptakan kepentingan strategis yang global dari China.  Ketergantungan itu pada gilirannya memerlukan pengembangan kapasitas dari profil Angkatan Laut China.

Untuk merespon kebutuhan yang mendesak itu, PLA Navy mulai membangun kapal tambahan untuk proyeksi  ‘laut biru’ yang dapat mendukung operasi Angkatan Laut meski jauh dari daratan China. Hal ini termasuk pengadaan Kapal Rumah Sakit Anwei Class serta Kapal pengisian ulang bahan bakar Fuchi Class.
Tentu saja, kekuatan terpenting dari proyeksi angkatan laut dan kontrol terhadap “second island chain” adalah dibutuhkannya kapal induk. PLA Navy membeli kapal induk kelas Kuznetsov  dari Rusia  pada tahun 1998, dan telah direnovasi sejak tahun 2002. Menurut laporan yang bocor, Kapal induk  ini digunakan sebagai pelatihan bagi PLA Navy dan  mereka ditargetkan harus memiliki kapal induk produksi dalam negeri sekitar tahun 2015. Pemerintah Cina pun mulai menanyakan tentang pembelian Su-33 Rusia carrier-borne fighter,  untuk memulai program penerbangan kapal induk Cina.

Saat ini Angkatan laut China mulai menunjukkan perkembangan yang nyata dan bergerak dari segi kuantiti ke kualiti dengan cara membangun struktur C4ISR dan pasukan profesional, untuk mendukung efektifnya peluncuran  joint operation.
  
Hingga saat ini program modernisasi itu telah mencapai target yang tinggi. operasi kapal-kapal selam China pun mulai meluas layaknya operasi kapal kapal besar.
Seiring berjalannnya waktu dan proses modernisasi, kekuatan milter China akan mampu menantang pengaruh Amerika Serikat di Asia Timur.
Singkatnya, ketika kekuatan Angkatan Laut China masih mengejar ketertinggalannya dari  Japan’s Maritime Self Defense Force dan  US Navy, keseimbangan kekuatan di wilayah ini sedang berubah dan akan terus berubah hingga dua dekade ke depan.

Posisi Indonesia
Saya berkeyakinan, persetujuan Amerika Serikat untuk menjual helikopter serbu Apache tipe AH-64E kepada Indonesia, terkait dengan proyeksi keseimbangan kekuatan yang hendak dibangun AS di wilayah Asia Tenggara, guna menghadapi kekuatan China. Sehingga tidak aneh setelah adanya Apache AH-64 E, akan muncul pasokan alutsista lainnya dari AS, termasuk kapal-kapal perang permukaan, jika Indonesia menyetujuinya.

Jika kita perhatikan First Island Chain dan Second island chain di atas, maka garis parimeter yang dibangun China masih menyentuh sejumlah wilayah laut Indonesia.
Wartawan sempat bertanya kepada  Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro tentang penempatan squadron helikopter serang AH-64 E.
“Oh enggak, itu bukan untuk Papua, itu untuk menjaga kedaulatan kita,” ujar Purnomo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/8/2013).

Menteri Pertahanan menyebut pangkalan untuk Apache akan ada dekat Perairan Laut China Selatan. “Itu saya pastikan bukan di Papua, ya tapi kita tak bisa beri tahu sekarang ya. Agar tahu saja, bahwa kita akan tempatkan di Laut China Selatan,” pungkasnya.
Pada akhirnya setiap negara harus memiliki pertahanan masing-masing, karena tidak ada jaminan negara lain akan membantu, apalagi jika harus berkonflik dengan China di masa depan. Prepare yourself ! .

(JKGR).

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner