Select Language

Senin, 18 Maret 2013

Ketika Sawah Sabah Mewabah

Diawali dengan serangan udara di pagi hari itu Selasa tanggal 5 Maret 2013, 8 jet tempur Angkatan Udara Malaysia yang terdiri dari 3 Hornet dan 5 Hawk membombardir kawasan “hunian” pejuang Sulu yang melakukan infilltrasi sejak  9 Februari 2013 lalu di Kampung Tanduo Lahad Datu Sabah.  Serangan itu kemudian dilanjutkan dengan pengerahan ribuan tentara darat Malaysia berikut persenjataan berat berupa kendaraan lapis baja dan artileri.  Mereka menyisir kawasan yang telah diduduki pasukan Sulu selama hampir sebulan untuk mencari dan menemukan gerilyawan terlatih veteran Moro Filipina Selatan.

Serangan emosional tentara Malaysia itu sebenarnya mewakili jalan pikiran petinggi pemerintahan dan militer di Kuala Lumpur yang merasa kalah malu karena tak mampu mendeteksi kehadiran milisi bersenjata di daratan Sabah sejak 9 Februari 2013 lalu. Langkah militer Malaysia yang overdosis itu justru melengkapi  dua “kekalahan” sebelumnya yaitu ketidakmampuan intelijen Malaysia mendeteksi kehadiran  milisi dalam jumlah ratusan dan pola runding yang berlarut dan buntu sehingga kemudian menjadi berita mendunia.  Mestinya sejak mencium adanya pergerakan milisi bersenjata di negerinya militer Malaysia  sudah harus melakukan serangan dadakan.  Sehingga tak sampai ceritanya menjadi berita dunia berminggu-minggu. Pada akhirnya opini yang berkembang di luar Malaysia memberikan kesan bahwa Sabah memang bukan milik sejati persekutuan tanah melayu.


Ini baru halaman pertama, kira-kira begitu, meminjam istilah Anas Urbaningrum.  Halaman berikutnya sangat diyakini bahwa perang gerilya dan sabotase akan berlangsung lama di Sabah.  Dan itu harus diselesaikan melalui jalan perundingan, bukan jalan militer.  Milisi Sulu sudah tentu mendapat aliran senjata dari saudara seperjuangannya milisi Moro Mindanao.  Senjata-senjata itu jumlahnya diprediksi bisa mempersenjatai minimal 10 batalyon milisi.  Belum lagi jika ada senjata selundupan yang disusupkan intelijen asing untuk “membantu” perjuangan Sultan Sulu mendapatkan haknya.

Malaysia yang selama ini selalu menyanyikan lagu berirama “Meng”  sekarang dipaksa harus mendengarkan lagu berirama “Di” yang gemanya sudah mendunia.  Maksudnya irama “Mengklaim” sekarang sudah diimbangi dengan syair populer “Diklaim”.  Dan tanah yang diklaim itu tak tanggung-tanggung yaitu sebuah “sawah” yang bernama Sabah yang kaya sumber daya alam mineral itu.  Tak usahlah diceritakan lagi proses historis tentang kebaikan Sultan Brunai memberikan Sabah ke Sultan Sulu karena jasa baiknya memerangi pemberontak di North Borneo itu.  Sejarah sudah mencatatnya, termasuk dimasukkannya Sabah dan Sarawak dalam pembentukan negara Malaysia tahun 1963.

 


Sesungguhnya menghadapi perang gerilya tidak perlu menghadirkan alutsista seperti jet tempur F18 Hornet.  Cukup diatasi dengan pesawat coin (counter insurgency) seperti Bronco atau Super Tucano.  Ketika Indonesia membeli 16 Super Tucano baru-baru ini, banyak pihak di Malaysia mentertawakan.  Nah sekarang ketika mereka berhadapan dengan gerilyawan nyata, baru terasa kebutuhan akan pesawat jenis itu.  Hornet atau Sukhoi kan untuk supremasi udara, duel udara antar negara, bukan untuk melawan gerilya.  Tetapi apa boleh buat perang di Lahad Datu telah dimulai, ada aksi pasti ada reaksi.  Sulu tidak sendirian.  Pejuang Filipina Selatan yang lain tidak akan membiarkan luka dan duka saudaranya yang menuntut hak.  Dan kita akan menyaksikan cerita dan berita berdarah itu pada halaman

 Malaysia terperangkap persis di mulut “kepala anjing” pulau Kalimantan dimana Lahad Datu berada.  Umpan yang diberikan milisi Sulu di mulut itu memberikan beberapa muntahan yang kemudian menjadi serangan militer emosional yang overdosis.  Boleh jadi dalam serangan senjata berat itu militer Malaysia menyatakan diri sebagai pemenang tetapi bagi pejuang dan gerilyawan itu justru menjadi pemicu dan pembangkit adrenalin untuk melakukan balas dendam berupa sabotase atau perang gerliya.

Milisi Sulu yang didukung MNLF (pejuang Moro) sejatinya mengenal betul wilayah Sabah.  Apalagi di wilayah itu terdapat ratusan ribu warga Malaysia dari etnis Sulu.  Seperti yang dikatakan Habib Hashim Muhajab, Ketua Dewan Komando Islam MNLF, pejuang Moro ketika melakukan perlawanan terhadap pemerintah Filipina menjadikan Sabah sebagai tempat latihan militernya.  Tetapi yang lebih seram dari pernyataan Hashim adalah meski pemimpin MNLF belum secara resmi menyatakan memerintahkan pasukan untuk berlayar ke Malaysia namun ribuan milisi Moro menyatakan siap diterjunkan dalam pertempuran.

Pemerintah Filpina dihadapkan pada posisi serba salah.  Tidaklah mungkin selamanya mereka berada dalam posisi yang sama dengan pemerintah Malaysia.  Apalagi sudah jatuh korban di pihak milisi Sulu yang nota bene adalah warga Filipina. Apakah Pemerintah Filipina akan terus membiarkan warganya dibombardir tentara tetangga sebelahnya.  Tentu tidak.  Meski secara diplomasi selalu disuarakan agar milisi Sulu segera pulang kampung, tetapi bukankah lidah memang tidak bertulang.  Secara diplomasi dan hubungan bertetangga perlu disuarakan hal itu tetapi secara intelijen dan militer apalagi yang menyangkut keselamatan dan harga diri bangsa tentu Filipina tidak sepolos itu.

Indonesia sendiri berkepentingan mengawal kawasan perbatasan Sabah dimana Ambalat berada. Saat ini ada 9 KRI dan beberapa kapal kecil bersenjata termasuk pasukan Marinir melakukan patroli di perairan Sebatik dan Nunukan. TNI AD juga melipatgandakan pasukannya untuk mengantisipasi limpahan limbah konflik yang tak terduga termasuk antisipasi eksodus ribuan TKI dari Sabah.  Pemerintah sudah mengantisipasi jika terjadi kelangkaan bahan pokok di Sebatik dan Nunukan sebagai akibat konflik Sabah.  Pertarungan klaim di Sabah sudah masuk dalam wilayah adu jotos, maka kita harus siap-siap menjaga ring itu agar jangan sampai mereka keluar ring yang berarti masuk wilayah kita.  Kalau masuk wilayah kita, kita jotos juga, mengapa tidak. (Analisa Alutsista)



Liku-liku Sejarah Klaim Sabah

Dalam setidaknya sebulan terakhir, nama Kesultanan Sulu seolah bangkit kembali dari ”kuburan sejarah”-nya. Hal itu menyusul aksi nekat Sultan Sulu Jamalul Kiram III (74) dan para pengikut setianya, yang mencoba mengambil alih kembali wilayah Sabah dari Malaysia.


Awal Februari lalu, Jamalul mengutus adik bungsunya, Agbimuddin Kiram, untuk berangkat ke Sabah. Bersama ratusan pengikut yang sebagian membawa senjata, Agbimuddin mendarat di kawasan Lahad Datu, Sabah, dan langsung melancarkan aksinya. Penyusupan itu memicu kemarahan Pemerintah Malaysia.

Dalam situs www.royalsultanateofsulu.org, Jamalul Kiram III, Agbimuddin, dan tujuh saudara kandung mereka disebut sebagai bagian dan keturunan Kesultanan Sulu.

Klaim atas wilayah Sabah oleh orang-orang Sulu dilatari liku-liku sejarah yang rumit. Banyak kalangan menganggap klaim Kesultanan Sulu atas Sabah sudah sejak lama gugur.

Pertama, ketika mereka menandatangani kesepakatan dengan Amerika Serikat (AS) pascakemenangannya melawan Spanyol, yang terlebih dahulu menjajah wilayah Filipina.

Pada tahun 1899, Sultan Jamalul Kiram II—kakak dari kakek Jamalul Kiram III, dan Jenderal John C Bates, komandan pasukan AS di Filipina, menandatangani sebuah perjanjian. Perjanjian yang dikenal dengan Traktat Bates itu pada praktiknya melucuti kekuasaan Kesultanan Sulu di wilayah kekuasaannya sendiri.

Pada awal berdirinya, Kesultanan Sulu menguasai wilayah kepulauan yang sangat luas dan kaya dengan berbagai kekayaan alam. Beberapa kepulauan utama itu antara lain Tawi-Tawi, Sanga Sanga, Sibutu, Siasi, dan Cagayan Sulu ditambah wilayah Sabah (Borneo Utara), yang sebelumnya dihadiahkan oleh Kesultanan Brunei atas bantuan Sulu melawan pemberontakan di Brunei.

Menurut catatan sejarah, Kesultanan Sulu didirikan pada pertengahan abad ke-15, oleh seorang petualang berdarah Arab kelahiran Johor, Shari’ful Hashem Syed Abu Bakr, yang menikahi seorang putri kerajaan setempat, Paramisuli.

Menyerahkan kedaulatan

Dengan Traktat Bates tersebut, praktis kekuasaan Sultan Sulu dibatasi menjadi sekadar simbol kepemimpinan agama dan adat.

Fakta sejarah lain yang dinilai menjadi penyebab hilangnya kekuasaan dan kedaulatan Kesultanan Sulu atas wilayah Sabah terjadi ketika pemimpinnya menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Filipina.

Pada 12 September 1962, Sultan Sulu ketika itu, Sultan Mohammad Esmail Kiram, bertemu dengan Wakil Presiden sekaligus Menteri Luar Negeri Filipina, Emmanuel Pelaez. Sultan sepakat menyerahkan kekuasaan dan kedaulatan atas Sabah kepada Pemerintah Filipina.

Kesepakatan serupa juga ditandatangani tahun 1969. Dengan penyerahan itu, Kesultanan Sulu menginginkan Pemerintah Filipina yang kemudian secara resmi memperjuangkan kembalinya Sabah dari Malaysia.

Akan tetapi, Pemerintah Filipina kemudian dinilai gagal memperjuangkan keinginan Kesultanan Sulu itu.

Akibatnya, keinginan mewujudkan daerah otonomi bagi etnis mayoritas di Sulu, Tausug, masih menjadi sebuah mimpi panjang.

Sejak Federasi Malaysia terbentuk pada 1963, Sabah telah menjadi salah satu negara bagiannya.

Wilayah Sabah diketahui memang kerap menjadi titik panas hubungan diplomatik di antara dua negara bertetangga, Malaysia dan Filipina, sejak penyerahan kedaulatan oleh Kesultanan Sulu tadi.

Upaya ”mengambil alih” Sabah pernah diupayakan oleh Pemerintah Filipina pada masa kepemimpinan Presiden Ferdinand Marcos.

Secara diam-diam, Marcos mempersenjatai dan melatih pengikut Kesultanan Sulu untuk kemudian akan disusupkan ke Sabah.

Seperti diberitakan BBC, rencana itu belakangan bocor dan milisi bersenjata tersebut justru dibunuh sendiri oleh tentara Filipina untuk menghapus jejak keterlibatan pemerintahan Marcos.

Peristiwa itu juga memicu kemarahan warga Filipina selatan untuk memberontak terhadap pemerintah.  (Kompas)

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner