Awal Muasal Konflik
Dari fakta sejarah, Sabah dahulu adalah koloni Amerika dan koloni Spanyol, dimana terdapat dua Kesultanan yaitu Sulu dan Brunei. Pada 1658, Sultan Brunei memberikan Sabah kepada Sultan Sulu, baik sebagai mas kawin atau karena pasukan Sulu telah membantunya menumpas pemberontakan. Menurut Jamalul Kiram III, daerah Sabah yang sekarang menjadi bagian Malaysia itu dulunya merupakan wilayah mereka yang disewakan kepada perusahaan Inggris pada 1878. Dalam kontrak ini dikenal sebagai Pajak, perusahaan bisa menempati Sabah-lamanya asalkan membayar sejumlah uang secara teratur.
Hingga saat ini, Malaysia terus membayar sekitar 5.000 ringgit Malaysia (£ 1.000, $ 1.500) per tahun untuk Kesultanan Sulu. Tetapi Inggris dan Malaysia menafsirkan bahwa pembayaran pajak berarti penjualan, sedangkan Kesultanan Sulu selalu menyatakan pembayaran itu berarti sewa. Malaysia menyatakan Sabah resmi menjadi bagian Malaysia karena telah melalui sebuah referendum pada tahun 1962-1963.
Setelah terjadi kontak senjata, PM Malaysia Najib Tun Razak mengatakan, “On the question of polemics of whether Sabah is a part of Malaysia, I want to stress that the issue had been finalised in 1978 and Sabah is a valid region in Malaysia,” katanya. Sementara Ketua United Borneo Front, Jeffrey Kitingan menyatakan di Sabah, Selasa (9/3/2013), “Belum pernah ada referendum di Sabah seperti yang dinyatakan oleh beberapa akademisi. Bahkan, referendum yang disebut di 1962-1963 sebenarnya hanya survei sampling kurang dari empat persen dari populasi Sabah,” katanya dalam menanggapi komentar Najib.
Konflik yang kini pecah di Sabah menjadi sangat serius merupakan batu sandungan dalam hubungan bilateral antara Malaysia dengan Filipina selama beberapa dekade, dan melatar belakangi masuknya penyusup dari Sulu ke Sabah. Sebuah informasi rahasia yang diberitakan oleh BBC (Manila, 24 Februari 2013) menyebutkan bahwa saat kepemimpinan Ferdinand Marcos telah melengkapi milisi rahasia muslim untuk merebut Sabah dengan kekerasan. Rencana tersebut bocor sebelum terlaksana, dan para milisi dibunuh untuk menutupi rahasia. Ketidak puasan warga muslim memicu timbulnya pemberontakan kelompok muslim di Filipina Selatan.
Pada era Presiden Gloria Aroyo, penyelesaian masalah Sabah dilakukan dengan jalan damai melalui jalur diplomatik. Aroyo tetap melakukan klaim kepada Malaysia dalam berbagai kesempatan. Pada kepemimpinan Benigno Aquino, justru pewaris dari Kesultanan Sulu tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan dengan Malaysia. Inilah yang diberitakan memicu kenekatan pengikut Sultan Sulu melakukan penyusupan dan pendudukan sebagian wilayah Sabah dan menyatakan sebagai tanah leluhurnya.
Filipina tidak melibatkan pewaris Sulu dalam pembicaraan dengan Malaysia, disebabkan karena Malaysia bersedia menjadi fasilitator dalam perundingan penyelesaian dengan kelompok pemberontak muslim di Filipina Selatan “The Moro Islamic Liberation Front” (MILF). Sementara dilain sisi Malaysia bersedia menjadi fasilisator dengan harapan klaim atas Sabah tidak dihidupkan kembali. Profesor Benito Lim, seorang sejarawan dari Universitas Ateneo de Manila menyatakan, “If the sultan’s family are not included in peace talks, and feel like they’re being forgotten and left out, there will soon be a serious problem,” katanya.
Posisi Politis dan Kekuatan serta Eskalasi Konflik
Dalam konflik di Sabah, Presiden Aquino mengatakan bahwa para penyusup berkekuatan sekitar 180 orang, dimana 20-30 diantaranya bersenjata. Aquino telah mengirimkan utusan ke pemimpin kelompok Raja Pangeran Muda Agbimuddin Kiram. ”Ini harus jelas bagi Anda bahwa sekelompok kecil orang tidak akan berhasil dalam menangani keluhan Anda, dan bahwa tidak ada cara bahwa kekuatan dapat mencapai tujuan Anda.” Pada awal pendaratan pada 12 Februari 2013, klaim kelompok hanya untuk meminta hak tinggal di Sabah, menyatakan daerah tersebut sebagai milik kesultanan Sulu. Tetapi kemudian para pemimpin kelompok mengindikasikan tujuan yang lebih luas berkaitan dengan klaim sejarah tentang Sabah.
Aquino telah mengirimkan kapal AL untuk menjaga wilayah perairan antara Sabah-Filipina Selatan. Pendukung Jamalul Kiram III, yang bermarkas di Manila dan pendukungnya menyatakannya di Filipina selatan sekitar 235 orang ikut dalam gerakan tersebut. Menyikapi ulah penyusupan kelompok Sulu, Aquino merasa terganggu dan bahkan mengancam akan menangkap pemimpin Sulu. Posisi politis pemerintah Filipina menjadi sulit karena disatu sisi terkait kepentingan negara dalam perundingan dengan kelompok militan Islam Moro, dilain sisi kelompok Sulu adalah warganya. Para penyusup menolak kembali ke Filipina, hingga Malaysia menyetujui pembicaraan dengan mereka.
Pada tanggal 1 Maret, pasukan keamanan Malaysia menggelar sebuah operasi dengan nama “Daulat”, berusaha memaksa pengikut sultan Sulu keluar dari kota. Kedua belah pihak terlibat dalam baku tembak selama 30 menit yang menewaskan dua polisi Malaysia dan 12 orang bersenjata Filipina. Bentrokan berlanjut sepanjang akhir pekan berikutnya, dengan korban kembali jatuh di kedua belah pihak.
Dari sisi Malaysia, Harian Bernama mengutip ucapan Perdana Menteri Najib Razak pada hari Minggu (3/3/2013) yang mengatakan bahwa kekerasan telah terbatas pada tiga wilayah di Sabah, yaitu di Lahad Datu, di mana kelompok dari Sulu pertama mendarat, dan di Semporna serta Kunak. PM Najib telah memerintahkan untuk meningkatkan keamanan dua kali lipat menyusul aksi kekerasan akhir pekan sebelumnya. Dia juga telah memberikan mandat kepada tentara keamanan untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan.
Pada 5 Maret Perdana Menteri Malaysia Najib memerintahkan serangan udara dan darat, baik dengan pesawat tempur F-18 dan pasukan lapis baja. Eskalasi kekerasan gagal untuk mendorong orang-orang bersenjata Filipina keluar dari dari Lahad Datu. Pertempuran itu telah menewaskan sedikitnya 53 anggota kelompok Sulu dan delapan polisi Malaysia. “Pukul 7 pagi ini, pasukan keamanan telah melancarkan serangan di desa Tanduo.”ujar Najib pada Selasa (5/3/2013).
Pada Minggu, 10 Maret 2013, Kepala Polisi Sabah Datuk Hamza Taib menjelaskan bahwa warga Filipina yang ditangkap berjumlah 85 orang dengan tuduhan melakukan tindakan teroris. Aparat keamanan Malaysia menghentikan tiga kapal yang berada di daerah zona konflik dan menahan 27 orang lagi. Untuk mengamankan daerah sekitar konflik, khususnya di sepanjang pantai timur Sabah, Malaysia menempatkan sekitar lima batalyon tentara, atau sekitar 3.500 orang, yang disebutkan untuk melindungi lebih dari 1,4 juta warga Sabah.
Pasukan komando kepolisian Malaysia serta militernya melakukan penyisiran dari rumah kerumah untuk mengejar kelompok Sulu yang kemudian bersembunyi di hutan dan kebun kelapa sawit. Pada Senin 11 Maret 2013, Raja Muda Agbimuddin Kiram, pemimpin tentara Kesultanan Sulu di Sabah yang juga adik Sultan Sulu Jamalul Kiram III, ditemukan tewas.
Jasad Agbimuddin ditemukan aparat Malaysia di Kampung Tanjung Batu bersama jenazah Haji Musa, salah seorang jenderal kelompok Sulu, serta sejumlah anggota lainnya. Musa adalah panglima perang Sulu yang posisinya berada di bawah Agbimuddin Kiram. Dia bertugas memimpin di medan tempur, sedangkan Agbimuddin bertindak sebagai ahli strategi. Menurut Taib, Musa adalah mantan komandan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) yang dipimpin oleh Nur Misuari.
Datuk Hamza Taib menyatakan, selain itu terdapat 15 jenazah lain yang sudah dimakamkan di lokasi penemuan tersebut. “Ada banyak jenazah yang dikuburkan dalam satu liang lahad dan makam lain di dekatnya. Pasukan kami akan terus mencari,” tutur Taib kepada The Star, Selasa (12/3).
Sedikitnya satu tentara Malaysia dan tiga anggota militan Kesultanan Sulu tewas setelah terjadi baku tembak di wilayah red zone, Sabah, Malaysia, Selasa (13/3) pagi. Ini merupakan hari kedelapan operasi daulat tentara dan polisi Diraja Malaysia yang memburu para penyusup dari Kesultanan Sulu, Filipina. Selain baku tembak, hari selasa, operasi daulat Malaysia juga berhasil menangkap enam orang di wilayah Sampurna, Sabah, yang diduga menjadi penghubung dengan anggota militan Sulu. Sekitar 122 orang sudah ditahan karena diduga memiliki hubungan atau berinteraksi langsung dengan pasukan Kesultanan Sulu.
Dampak konflik Bagi Malaysia
Konflik di Sabah oleh kalangan militer dinilai merupakan operasi terbesar selama ini di dalam negeri Malaysia. Walaupun jumlahnya sedikit, tetapi militansi serta pengalaman bertempur para penyusup Sulu tersebut cukup diperhitungkan oleh pihak keamanan Malaysia. Mereka adalah pendukung Sultan Sulu yang sebagian merupakan mantan pejuang MNLF (Moro National Liberation Front).
Menurut juru bicara Kesultanan Sulu Abraham Idjrirani, rekan-rekannya yang saat ini masih ada di Sabah tidak akan mundur dan kembali ke Filipina. “Mereka tidak akan kembali dan lebih memilih mati jika sudah tersudut,” katanya. Pihak Kesultanan Sulu pun mengaku telah mengirimkan tentara tambahan untuk menambah jumlah pasukan yang sudah lebih dulu ada di sana. Mereka menyeberangi beberapa negara ASEAN selama berjam-jam menggunakan kapal cepat.
Dampak konflik di Sabah tersebut jelas sangat merugikan selain stabilitas keamanan juga berpengaruh besar terhadap situasi politik di Malaysia. Sabah adalah salah satu wilayah pengaruh dari Barisan Nasional, tempat mendulang suara saat pemilu. Dengan konflik di Sabah, banyak pihak meragukan keamanan jalannya pemilu yang rencananya akan digelar pada bulan Juni 2013. Terbersit berita pelaksanaan pemilu akan diundur oleh pemerintah. Disatu sisi konflik dinilai sangat menguntungkan kelompok oposisi yang dipimpin oleh mantan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim.
Berita miring yang ditulis oleh beberapa media telah mengundang reaksi penuntutan Anwar terhadap tiga media, yaitu Utusan Melayu (Malaysia) Bhd, Telkomnika Televisyen Malaysia Bhd ( TV3 ) dan tiga lainnya atas laporan berita yang mengaitkan namanya dengan penyusupan bersenjata di Sabah. Anwar membantah bertemu Sultan Sulu atau memiliki keterlibatan dalam serangan di pantai timur Sabah.
Presiden Filipina Benigno Aquino III sebelumnya mengatakan ada tanda-tanda konspirasi di balik keputusan pengikut Sultan Sulu Jamalul Kiram III yang melakukan klaim mereka atas Sabah. Dia menolak menyebutkan nama para konspirator yang dicuriga karena hal itu membutuhkan lebih banyak bukti. Sementara Jumat (1/3/2013), Philippine Daily Inquirer memuat berita yang menyebutkan berasal dari sumber intelijen Filipina, bahwa seorang politikus Sabah yang bersekutu dengan Anwar telah bertemu dengan penyusup bersenjata.
Kini pertanyaannya, apakah benar ada sebuah konspirasi penyusupan kelompok pejuang Sulu ke Sabah? Yang jelas Sultan Sulu Jamalul Kiram III pasti faham bahwa infiltrasi pasukan bersenjatanya pasti akan ditangkal dengan serius oleh pemerintah Malaysia. Elit Barisan Nasional akan mempertahankan Sabah dengan mati-matian karena disitu lumbung suaranya, disamping Sabah adalah wilayah strategis yang berbatasan dengan Brunei, Filipina, Indonesia serta Lautan China Selatan. Aspek strategisnya terlalu besar untuk disepelekan. Lepasnya Sabah bisa menjadikannya markas kelompok Moro yang bisa membahayakan stabilitas Malaysia. Selain itu luasnya kebun kelapa sawit juga merupakan penghasil devisa yang cukup besar dan harus mereka peryahankan.
Nah, dengan fakta-fakta tersebut serta perkembangan eskalasi konflik, terlihat Malaysia sangat serius dalam pengerahan kekuatan. Kekuatan penyusup tidak besar, tetapi dampaknya terhadap stabilitas pertahanan, keamanan dalam negeri dan politik sangat besar. Apabila memang konspirasi terjadi dan Anwar Ibrahim dengan serius menolak terlibat, lantas siapa yang membangun konspirasi tersebut?
Efek konflik yang akan bisa menjatuhkan Barnas dan menaikkan citra oposisi, menunjukkan adanya kekuatan yang menginginkan Barisan Nasional serta PM Najib tumbang dan Anwar Ibrahim akan didukung demi sebuah kepentingan yang lebih besar. Dalam teori konspirasi serta conditioning, suatu saat baik polisi atau militer Malaysia bisa melakukan pelanggaran HAM dalam sebuah operasi militer, itu sasaran mereka. Masalah konflik apabila tidak selesai akan bisa menjadi penyebab munculnya orang atau kelompok yang bersedia melakukan aksi teror, dan Malaysia yang akan menanggung akibatnya. Konflik Sabah bisa meluas menjadi masalah regional, dan disitulah mungkin inti masalah berasal.
Indonesia harus mewaspadai kemungkinan merembesnya konflik di daerah perbatasan, karena kelompok teror di Indonesia memiliki sejarah hubungan dengan kelompok Moro di Filipina Selatan. Apakah konflik akan meluas seperti itu? Entahlah, ini hanyalah sebuah ramalan intelijen ringan.
0 komentar:
Posting Komentar