Select Language

Senin, 08 November 2010

Pemahaman Terhadap Demo dan Tautannnya

Unjuk rasa atau demonstrasi (demo) adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok penentang kebijakan atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik dari kepentingan suatu kelompok.

Aksi unjuk rasa, umumnya terjadi di negara-negara demokrasi, meski ada beberapa yang terjadi juga di negara-negara totaliter. Dekade delapanpuluhan akhir, aksi-aksi unjuk rasa yang dipelopori masyarakat sipil (civil society) marak terjadi, khususnya di Eropa Timur, melawan keangkuhan kekuasaan rezim totaliter di kawasan tersebut. Perubahan kemudian banyak terjadi dari semula berstatus totaliter menjadi negara demokrasi.

Nilai fundamental masyarakat sipil memperjuangkan nilai demokrasi adalah untuk "berkata benar" (telling the truth) sebagai lawan dari "berkata bohong" (telling the lie). Demokrasi adalah nilai kebenaran karena ia adalah antitesis sistem otoriter dan totaliter yang dibangun atas dasar kebohongan. Pergerakan-pergerakan demo di dunia adalah untuk menegakan demokratisasi dan sistem demokrasi yang kebenaran menjadi asasnya.

Disaat penguasa negara melakukan kebohongan publik (seindah apapun bentuknya), disitulah pekerja politik bekerja membangun demokrasi. Proses itu tidak akan pernah berhenti walaupun demokratisasi tumbuh subur, karena tabiat senang berbohong merupakan habitat manusia berpolitik. Penguasa selalu diuji sikapnya oleh masyarakat sipil. Disaat penguasa mulai "telling the lie", pekerja politik turun ke jalan untuk mengembalikan "telling the truth"

Demo adalah hak asasi & ekspresi politik masyarakat yang dijamin konstitusi yang ditujukan untuk menyampaikan protes dan ketidak sepakatan terhadap Pemerintah. Aksi ini merupakan salah satu saluran dari proses komunikasi dalam cara menyampaikan pesan ketidakpuasan terhadap suatu kebijakan publik, kepemimpinan politik atau janji politik

Dari sisi politik, unjuk rasa menjadi salah satu partisipasi politik alternatif, manakala saluran konstitusional dianggap kurang efektif atau tak berguna. Hasil unjuk rasa akan menunjukkan apakah tuntutan dan ketidak sepakatan masih tetap, berubah, atau malah hancur sama sekali. Demo lebih sering dipahami sebagai sesuatu yang negatif oleh para penguasa dan pilihan utama bagi para penentangnya. Bagi penguasa, unjuk rasa bukanlah kebiasaan baik karena dapat mengurangi kewibawaan pemerintah di mata rakyat malah sampai pada menurunkan presiden di tengah jalan.

Pelaku unjuk rasa merasa itulah jalan terbaik menekan penguasa mendengar dan memenuhi sebagian atau seluruh kehendak mereka. Penguasa selalu membungkam suara pengunjuk rasa ibarat "hak kritik mereka dicabut". Tuduhan terhadap pengunjuk rasa sebagai "pengkritik yang berasal dari orang yang kalah dalam Pemilu". Inilah yang dituding sebagai upaya mengkerdilkan demokrasi dimana seolah-olah kontestan pemenang Pemilu bisa bertindak apa saja. Dengan dua persepsi yang sulit dikompromikan, maka unjuk rasa sering diihat secara hitam (oleh penguasa) dan putih (oleh para pelakunya).

Penguasa akan selalu mencoba melemahkan, mendiskreditkan, dan membendung bahkan meniadakan kiprah aksi unjuk rasa karena demo mengisyaratkan ada yang tidak beres dan dialah yang sedang dituding. Garis antara "criticism and insulting" tipis perbedaannya dan saling dituduh ke masing-masing pihak sampai-sampai masuk ke ranah hukum.

Tulisan ini mencoba untuk memberi pemahaman terhadap aksi demo di Indonesia dan tautannya berdasarkan data kumpulan yang terbatas.

I. KOMPONEN ELEMEN DEMO:
1. Masyarakat Sipil (Civil Society):
Umumnya aksi demo diorganisir oleh kelompok kelas menengah dan kelompok pekerja bawah (yang tidak puas dengan perlakuan majikannya). Kumpulan ini dikenal sebagai masyarakat sipil (civil society) dimana untuk kelas menengah didukung kelompok mahasiswa sebagai ujung tombak. Sedangkan kelompok pekerja bawah terwakili oleh para buruh. Tanpa kedua kelompok ini, potensi unjuk rasa mustahil dilakukan.

Civil society mempunyai kemampuan mengartikulasikan kegelisahan sosial ke tingkat grass root (akar rumput) dan bisa menciptakan opini publik yang pada akhirnya diikuti oleh masyarakat kecil. Gerakan mereka semakin populer disaat kumpulan wanita, ibu-ibu (atau orang tua) para demonstran ikut terlibat sebagai pendukung logistik; malah sampai pula sebagai barisan pagar terdepan dari aksi unjuk rasa.

Sejak jatuhnya rezim kekuasaan Soeharto pada tahun 1998, aksi-aksi unjuk rasa menjadi hal yang umum. Unjuk rasa menjadi simbol kebebasan ber-ekspresi warga di negara ini yang terjadi hampir setiap hari di berbagai bagian wilayah di Indonesia, khususnya di Ibukota Jakarta.

Semenjak tahun 1965 sampai 2010, sebagian besar gerakan unjuk rasa di Indonesia adalah kumpulan mahasiswa. Mereka berbaris di jalan-jalan menuju istana (kantor pemerintah) sampai ke gedung perwakilan rakyat untuk menyatakan ketidakpuasan terhadap penguasa dan wakil rakyat. Buruh, rakyat kecil dan pelajar merupakan kumpulan lain, termasuk para orang tua yang menyediakan dukungan logistik bagi peserta demonstran.

2. Dukungan:
Setidaknya ada tiga elemen penting yang dibutuhkan agar sebuah unjuk rasa dapat dijadikan alat untuk menekan rezim penguasa, yakni dukungan jaringan, dukungan uang dan dukungan militer. Namun tanpa dukungan dua elemen terakhir, uang dan militer, aksi demo sama sekali tidak akan maksimal melakukan tekanan.

Demo-demo di Indonesia (1965 & 1998), Hong Kong (2003), Thailand (2006) dan Philippine (1986) adalah contoh dari tiga elemen itu saling bersatu padu dalam aksi gerakan unjuk rasa sehingga mampu menggulingkan rezim penguasa.

Unjuk rasa yang dilakukan 3 bulan terakhir, yakni tanggal 9 Desember 2009 (Hari Anti Korupsi Sedunia) dan 28 Januari 2010 (100 hari pertama KIB II), merupakan contoh hanya didukung oleh jaringan saja. Dua elemen lainnya, yakni uang dan dukungan militer, sama sekali tidak ada.

3. Thema:
Situasi psikologi rakyat adalah pendukung utama terjadinya dorongan unjuk rasa. Thema demo penting sebagai faktor pendorong ereksi politik rakyat. Seperti diketahui, masyarakat Indonesia adalah soft culture; tidak akan marah karena penderitaan hidup. Hanya harga diri dan ketidakadilan yang bisa menggerakan mereka. Isyu mengenai kelaparan atau kemiskinan belum tentu ampuh menyentuh hati nurani rakyat.

Demo 1998, merupakan gerakan massive akibat suasana psikologi ketidakadilan rakyat yang terkungkung sekian puluh tahun tidak tersalurkan. Themanya konkrit, ialah untuk "bongkar rezim penguasa" dengan menyatakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Rakyat bisa dimobilisasi untuk menghadiri aksi dan menyatu diri dengan pemikiran para demonstran.

Perubahan polituk di tahun 1998, adalah sebuah kejutan bagi semua orang, pemerintah dan warga sendiri. Pemikiran para penguasa, pejabat dan beberapa kalangan menengah keatas (orang-orang yang kehidupan ekonomi berkecukupan), aksi perubahan mustahil dilakukan. Mereka adalah pihak yang apatis terhadap politik; mereka berpikir dan bertindak berdasarkan perhitungan kepentingan material dibanding prinsip abstrak; mereka sibuk dengan pekerjaan mereka, dan mereka memecahkan masalah mereka secara individual ketimbang tindakan kolektif.

Demo 1998, menggunakan slogan "bongkar rezim penguasa & kembalikan kekuasaan kepada rakyat" merupakan senjata ampuh memobilisasi rakyat. Aksi ini dikenal dengan "reformasi" yang sangat konkret dengan thema dan tujuan yang jelas. "Kembalikan kekuasaan kepada rakyat" memang relatif abstrak, namun, mengingat situasi politik saat itu, thema itu dapat dipahami sebagai warna ketidakadilan melawan keangkuhan kekuasaan rezim totaliter Soeharto.

Thema seperti di tahun 1998, tidak bisa lagi dipakai, karena saat ini psikologi rakyat sudah berubah. Rakyat sekarang ingin adanya "maintenance or assembling" dari perbuatan bongkar yang dilakukan tahun 1998.

Sedangkan thema unjuk rasa 9 Desember 2009 dan 28 Januari 2010, abstrak dan tidak konkrit dibandingkan thema Cicak versus Buaya yang menyentuh hati rakyat dan harga diri melihat ketidakadilan yang terjadi. Saat sekarang, aksi sosial lebih meningkat diterima rakyat dibandingkan aksi demo, seperti thema "Koin Peduli Prita" dan "Koin Cinta Bilqis".

Penyebab utama adalah "kelelahan demokrasi" dimana rakyat tidak melihat aksi-aksi demo kemana akhirnya akan berujung. Rakyat "ambivalen & questioning" terhadap sistem demokrasi yang berjalan. Reformasi & demokrasi menghasilkan banyak kebohongan terhadap publik, suburnya korupsi, ketidakjelasan hukum, kepincangan ekonomi, kemiskinan dan lain sebagainya. Potensi kelelahan ini harus diwaspadai karena sinisme terhadap demokrasi bisa membuka ruang masuk sistem otoriter dan totaliter.

4. Mobilisasi:
Unjuk rasa adalah upaya memobilisasi rakyat dari status individual menjadi kelompok massa. Bagaimana masyarakat bisa dimobilisasi untuk menghadiri unjuk rasa? Mobilisasi yang efektif hanya mungkin jika tujuan tindakan kolektifnya jelas dan dianggap oleh rakyat penting serta relevan dengan kepentingan mereka. Masyarakat tidak dapat dengan mudah dimobilisasi kecuali psikologi nurani mereka sudah mobilizable terlebih dahulu.

"Citizen self-mobilization" merupakan model yang paling effektif dalam memobilisasi individual menjadi kerumunan massa. Keuntungan "citizen self-mobilization" adalah biaya yang rendah dalam proses memobilisasi, karena aksinya tidak tersentralisir dan sulit ditekan penguasa. Harkat diri rakyat di dongkrak naik akibat hambatan budaya partisipasi yang dikembangkan penguasa, apalagi peningkatan itu didorong oleh sistem media yang bebas, sehingga rakyat dapat memainkan peran penting dalam kehidupan sosial politik.

Gerakan yang dihasilkan "citizen self-mobilization" memiliki warna romantis mereka sendiri. Sebagian peserta merasa, gerakan yang lahir, merupakan cita-cita mulia yang dipegang para pelaku dalam kehidupan sosial politik di masa mendatang.

Namun "citizen self-mobilization" tetap mempunyai sisi lemah. Seperti demo 1998, telah mengejutkan banyak orang, bukan hanya karena jumlah peserta semata, tetapi juga karena karakter yang keras dan rasional dari demonstrasi itu sendiri. Warga yang memobilisasi diri juga memiliki kelemahan tertentu karena tidak ada tokoh pemimpin massa, ketidakmampuan mengorganisir kelompok, terlebih tindakan peserta yang reaksional dengan situasi yang berkembang tidak dapat dengan mudah dikoordinasikan.

Pekerja demokrasi Indonesia perlu mengubah paradigma dalam berpikir dan mulai mendorong "opini publik" dengan cara "citizen self-mobilization". Pemerintah sekarang terlalu mudah memutar dan memanipulasi opini publik, kadang-kadang mengambil serius, kadang-kadang mengambil itu sebagai tidak ada. Sekarang rakyat telah berbicara, suara mereka terdengar merata. Enggan meskipun mungkin, pemerintah harus berhadapan muka dengan opini publik.

Mobilisasi bukanlah sesuatu yang dapat dibangun dalam satu minggu atau bulan. Prosesnya evolusi dan diperlukan tahunan untuk membentuk suatu opini menyentuh hati rakyat. Disini pentingnya sosialisasi dari thema demo itu. Rezim Orba telah membuat banyak kesalahan dalam periode kekuasaan dan warga tidak mungkin dimobilisasi ke jalan untuk mengekspresikan pendapat tanpa sebelumnya ada evaluasi terhadap kegagalan pemerintah.

Secara tradisional, kelompok asosiasi & organisasi sosial (LSM, Ormas dll) memainkan peran penting dalam memobilisasi kekuatan rakyat. Saat digunakan melawan rezim, mobilisasi kekuasaan rakyat merupakan ancaman besar. Pekerja demokrasi paham betul hal ini, seperti terlihat bagaimana mereka memobilisasi pendukungnya melalui berbagai asosiasi & organisasi membangun opini publik. Berbeda dengan partai politik yang berjuang hanya demi kepentingan partai untuk berkuasa.

Sebenarnya dalam unjuk rasa 4 bulan terakhir, para demonstran tahu dengan sangat jelas apa yang mereka lakukan. Sebagian rakyat (termasuk kelas menengah) sebenarnya setuju dengan pandangan bahwa kinerja pemerintah SBY mengecewakan dan bahkan "tidak dapat ditoleransi." Rakyat menyadari ketidakmampuan SBY telah mempengaruhi kepentingan-kepentingan materi mereka dan berpotensi terhadap hidup dan mati. Untuk itu, dukungan jaringan dan asosiasi sosial diperkuat untuk memerangi penyakit politik rezim SBY, dengan media memainkan peran penting dalam mendongkrak proses evaluasi ini.

Namun sosialisasi mobilisasinya belum merata dan ini merupakan alasan tidak meluasnya warga pergi ke jalan menyikapi inkompetensi pemerintah. Saya berkeyakinan, penguasa tidak mengabaikan fakta ini. Atribut demonstrasi hanya sebuah "faktor eksternal." Jika penguasa tetap taat dalam cara berfikir mereka, maka hanya akan membuat dirinya terasing dari masyarakat, dan ini space untuk mobilisasi.

5. Ikon Penggerak:
Penyelenggara unjuk rasa 4 bulan terakhir berbeda dengan tahun 1998, dimana kolektifitas mereka sangat terbatas dalam memobilisasi rakyat. Meski berkembang dengan baik, namun struktur organisasinya belum solid. Untuk warga turut terlibat dalam unjuk rasa, peran penyelenggara harus jelas. Siapa organisasi penyelenggara demo? Siapakah tokoh utama di balik demonstrasi?

Sebelum demonstrasi, warga mungkin hanya punya beberapa ide yang tidak jelas mengenai pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Belakangan ini demo tidak dipimpin oleh organisasi terpusat tetapi hanya oleh para peserta individu asosiasi & organisasi sipil itu sendiri

Di samping terbatasnya peran penyelenggara, unjuk rasa yang terjadi tidak bergantung pada atau menghasilkan ikon heroes. Demo Malari tahun 1974, meski dipimpin oleh kelompok-kelompok mahasiswa, didalam prosesnya, individu pemimpin mahasiswa itu menunjuk Hariman Siregar sebagai ikon pusat dari keseluruhan gerakan.

Sampai sekarang, bisa dikatakan, aksi-aksi demo tidak dapat menghasilkan pahlawan sebagai tokoh sentral gerakan. Apakah ada organisasi yang kuat dari atas ke bawah dapat memunculkan pahlawan itu? Ini tergantung semua dari interaksi antara media komersial dan para penyelenggara demo. Jika mobilisasi rakyat terus menerus digalang kedalam gerakan demokrasi, saya percaya suatu hari akan muncul tokoh pahlawan itu.

6. Media & Pers:
Harus disadari, aksi unjuk rasa sebagai akibat dari dinamika komunikasi yang melibatkan saluran media/pers dan dunia maya (internet). Kota-kota besar di Indonesia, khususnya Ibu kota Jakarta, adalah masyarakat yang pluralistik dengan penduduk yang padat dilayani oleh sebagian besar sistem media/pers dan dunia maya yang bebas. Para pengunjuk rasa di kota-kota besar Indonesia umumnya memiliki tingkat pendidikan menengah keatas yang menggunakan media/pers & dunia maya sebagai sumber informasi.

Media cetak (surat kabar) merupakan informasi awal di pagi hari bagi warga demonstran, sementara media elektronik & dunia maya melengkapi pesan-pesan sejauh mana mereka dipengaruhi oleh panggilan untuk hadir dalam aksi unjuk rasa. Informasi dan pesan yang berasal dari media/pers & dunia maya memiliki pengaruh yang penting pada diri peserta demo. Para demonstran menganggap informasi dan pesan-pesan dari editorial surat kabar, artikel kolom surat kabar, berita koran, radio talk show, berita radio, dunia maya (internet), berita TV dan TV program urusan publik mempunyai pengaruh terhadap keputusan berpartisipasi dalam unjuk rasa.

Jika dibandingkan satu sama lain; koran (cetakan & interactive di internet) maupun radio tampaknya lebih berpengaruh dibandingkan TV. Pekerja demokrasi dan peserta demo, lebih dipengaruhi berita surat kabar & radio, karena pesan-pesan yang disampaikan lebih persuasif dalam memobilisasi informasi. Berita televisi, meski cenderung menyimpan lebih kuat terhadap norma objektivitas, mungkin memiliki sedikit pesan persuasif dalam memobilisasi informasi.

Perlu dicatat bahwa media dapat menggerakkan orang untuk bertindak, tanpa penyelenggara berita itu sendiri mengadopsi posisi tertentu pada masalah yang dihadapi. Bahkan ketika penyelenggara berita tetap objektif, berita masih membawa sejumlah besar pesan persuasif dan memobilisasi informasi yang datang dari sumber berita yang berbeda.

Di masa Orba, sebagai suatu rezim otoriter, negara memperoleh monopoli dalam mendefinisikan realitas sosial. Di era reformasi sekarang, di mana media sudah independen dan masyarakat sipil terbentuk ramai, serta berbagai sistem pakar profesional berkembang dengan baik, maka media sering kali menjadi ruang untuk kontestasi-kontestasi diskursif dalam perjuangan untuk mendefinisikan realitas.

Unjuk rasa tahun 1998 merupakan peristiwa "kemenangan opini publik". Semua kelompok masyarakat dan media/pers tiba-tiba ada disisi opini publik. Ini adalah pertama kalinya bagi Indonesia menunjukkan kepada dunia adanya kekuatan rakyat setelah 35 tahun Orba berkuasa. Sebelum itu, beberapa media komersial (cetak dan elektronik) mendukung pemerintah. Namun, setelah menyaksikan ekspresi opini publik yang berkembang, mereka secara radikal mengubah sikap. Media/Pers merupakan mesin pendukung demokrasi, terutama ketika pemerintah terus menderita krisis legitimasi. Media/Pers adalah corong dalam menggerakkan partisipasi publik memperjuangkan demokrasi.

7. Interaksi Interpersonal:
Komunikasi interpersonal merupakan komponen utama komunikasi antar pendemo (Handphone, SMS, BlackBerry, Twitter, Facebook, dll). Panggilan untuk bertindak / berkumpul datang dari teman-teman dan kolega yang menggunakan fasilitas koneksi ini. Interaksi ini ampuh dalam membentuk "citizen self-mobilization"

Demonstrasi bukanlah kerumunan orang per orang yang berjalan sendirian. Sedikit sekali peserta demo berpartisipasi dalam reli karena keinginan diri sendiri. Sebagian besar peserta demo berpartisipasi karena dorongan komunikasi interpersonal dari teman-teman atau organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi (sekolah), selebihnya karena pengaruh keluarga serta ajakan pasangan pacar mereka.

Tingkat mobilisasi unjuk rasa tahun 1998 sangat tinggi meski pemerintah mengontrol penuh media dan pers. Beberapa tahun sebelum meletus aksi demo tahun 1998, semua spasi dan saluran komunikasi media, merujuk untuk kepentingan rezim penguasa. Namun pekerja politik menggunakan ruang dan saluran alternatif untuk mengadakan perubahan, yakni jaringan komunikasi interpersonal, media kecil seperti pamflet, radio swasta dan teknologi media internet (seperti grup diskusi Apa Kabar). Saat itu, pemerintah sulit memahami opini publik yang berkembang dan para penguasa menemukan diri mereka terisolasi dari masyarakat dalam mencegah konflik yang ada.

Sekali lagi, jika ada yang menyatakan asosiasi & organisasi secara formal memiliki kekuatan mobilisasi yang lemah bisa dibenarkan, karena akumulasi mobilisasi timbul dari adanya solidaritas jaringan sosial dan interaksi interpersonal. Demonstrasi bukan hasil dari mobilisasi asosiasional tetapi hasil dari warga memobilisasikan diri (citizen self-mobilization ) akibat adanya interaksi interpersonal.

Tanpa interaksi interpersonal, mustahil memobilisasi rakyat dapat bertindak. Pesan persuasif dan informasi mempengaruhi memobilisasi terutama karena mereka be-resonansi dengan sesuatu yang sudah ada dalam pikiran orang. Dalam pikiran rakyat ("man on the street"), pemerintah telah melakukan tindakan begitu buruk sehingga saatnya sesuatu harus dilakukan agar menjadi harapan bersama. Melalui komunikasi interaksi interpersonal dengan sesama teman dan kolega, warga menemukan sebuah konsensus politik.

Umumnya individu yang terlibat dalam suatu aksi tidak mengetahui siapa awalnya yang mengangkat ide pemikiran untuk bergabung; apakah karena dirinya atau pengaruh teman mereka. Ada semacam konsensus, di para penyelenggara aksi unjuk rasa, untuk mengarahkan rasio kesadaran individu tidak membiarkan orang lain mengetahui banyak untuk apa mereka bergabung dalam suatu aksi unjuk rasa.

Ini adalah modus komunikasi massa, dimana mobilisasi perilaku dengan cara "citizen self-mobilization", dapat menjadi kumpulan yang dimobilisasi atau memobilisasikan dirinya sendiri. Pertama, penyelenggara, menekankan komunikasi top-down dengan model pengaruh, yang masuk melalui berbagai lapisan dari sebuah organisasi untuk memobilisasi para anggota dan simpatisan mereka. Kedua, penyelenggara menekankan komunikasi horisontal, yang jarang berasal dari inti organisasi untuk memotivasi diri pelaku.

II. DEMO SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN POLITIK DALAM MASYARAKAT SIPIL:
Kita setuju bahwa gerakan demokrasi di Indonesia saat ini tidak memiliki kepemimpinan yang kompeten. Masyarakat siap dimobilisasi demi demokrasi, tapi bagaimana opini publik dapat secara efektif terorganisir, yang diwakili, dan dikomunikasikan? Bagaimana kita bisa mengkombinasikan keuntungan warga asosiasional mobilisasi dan mobilisasi diri di masa depan? Bagaimana kita bisa memelihara dan memperluas cakupan partisipasi publik? Ini masalah utama yang dihadapi pekerja politik memelihara demokrasi yang saat ini terasa kurang baik. Mengatasi kendala itu diperlukan hadirnya tokoh yang kredibel dan kompeten dalam memimpin perpolitikan masyarakat sipil.

Seperti kata para ahli, sistem politik tidak akan berubah dalam semalam. Sebagian kemenangan sosial, yang dicapai dalam bentuk unjuk rasa, diproses secara evolusi. Umumnya peserta demo, tidak pernah berpartisipasi dalam unjuk rasa serupa sebelumnya. Dengan kata lain, demonstrasi telah memberikan banyak orang pengalaman pertama berunjuk rasa dan itu adalah sangat positif. Masyarakat mengakumulasi pengalaman mereka dalam partisipasi politik yang diharapkan dapat meningkatkan kecenderungan rakyat untuk melaksanakan kekuasaan di masa depan.

Kelompok kelas menengah memainkan peran manajerial penting dalam masyarakat Indonesia, tetapi mereka tidak memiliki juru bicara politik dan organisasi-organisasi politik. Reformasi tahun 1998, dapat dianggap sebagai titik awal kembalinya kelas menengah untuk berperan lebih aktif dalam proses politik. Bisa dikatakan, struktur demografi peserta demonstran, disadari kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kelas menengah yang sebagian besar memiliki pendidikan perguruan tinggi atau di atasnya. Selebihnya adalah profesional atau memegang posisi manajerial di tempat kerja.

Bagaimana kekuatan-kekuatan politik yang ada dapat menggabungkan kekuatan meningkatnya kelas menengah ini, dan untuk tujuan apa? Apakah akan tampil tokoh pemimpin muda dimasa mendatang? Apakah panggilan untuk demokratisasi menjadi lebih keras dan lebih keras di masa depan?

Jawabannya jelas ada, karena sekelompok besar aktifis pro demokrasi dan sebagian besar yang terlibat dalam aksi unjuk rasa adalah kaum muda. Setelah demonstrasi, sikap politik kaum muda menjadi semakin mengkristal. Kemungkinan bahwa mereka akan terjun ke tingkat yang lebih tinggi, penting bagi isyu demokrasi, apalagi setelah kaum muda mengevaluasi profil kegagalan politisi yang berkuasa sekarang. Partai berkuasa tidak akan kehilangan pendukung inti mereka, tetapi pasti akan merasa jauh lebih sulit memenangkan suara. Kekuatan faksi yang berbeda dalam legislatif akan berubah.

Aksi-aksi unjuk rasa di 10 tahun terakhir adalah tindakan "kolektif lokal "yang memberikan kontribusi dan konfirmasi ulang terhadap kehidupan politik bagi rakyat yang tidak menikmati rasa bangga dan terkungkung selama bertahun-tahun. Unjuk rasa memberi rakyat memperbaharui kepercayaan diri dan harapan akan berdemokrasi. Identifikasi dan kepentingan lokal merupakan faktor kunci dalam perkembangan sosial di masa mendatang yang akan mempengaruhi bagaimana media komersial menempatkan diri mereka.


0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner