Pada bulan Desember 1948 militer Belanda yang masih bercokol di Indonesia khususnya di Pulau Jawa melancarkan agresi militer kedua bersandi Operation Kraai.
Serbuan militer yang dirancang oleh Kepala Staf Angkatan Darat Belanda yang berkuasa di Indonesia, Jenderal Simon Spoor, itu langsung menggegerkan rakyat Indonesia yang baru tiga tahun memproklamirkan kemerdekaan.
Agresi militer Belanda kedua yang disebut sebagai Aksi Polisional (Politionele Acties) yang dilancarkan pada 19 Desember 1948 itu diklaim militer Belanda sebagai upaya melumpuhkan aksi kekerasan yang terus berlangsung sejak Perjanjian Linggarjati di Istana Merdeka, Jakarta pada 15 Desember 1946 disusul kesepakatan damai melalui Perjanjian Renville.
Salah satu poin Perjanjian Linggarjati adalah Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia yang meliputi Pulau Jawa, Sumatra, dan Madura.
Karena pada prinsipnya semangat Pemerintah Kerajaan Belanda adalah menguasai kembali seluruh wilayah Indonesia yang pernah dijajahnya, Operation Kraai pun memiliki semangat serupa.
Operation Kraai yang dilaksanakan di Jawa dan Sumatra itu bertujuan melumpuhkan kekuatan militer Indonesia dan sekaligus menawan para pemimpin RI, Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Ketiga petinggi itu berkantor di Yogyakarta yang telah dijadikan ibukota RI sejak 4 Januari 1946.
Sebagai ibukota negara dan markas Tentara Kemanan Rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, Yogyakarta menjadi sasaran utama Operation Kraai. Agresi militer Belanda II di Yogyakarta berdasar pada operasi intelijen yang cermat sehingga dalam operasi yang bersifat dadakan (blitzkrieg) itu sasaran musuh akan bisa dikuasai dalam tempo kilat dengan korban di pihak penyerang seminimal mungkin. Pasukan Belanda yang bertugas menyerbu Yogyakarta dipusatkan di Pangkalan Udara Andir, Bandung dan dipimpin oleh Jenderal Meyer.
Kekuatan pasukan terdiri dari 800-900 pasukan Para Komando dan didukung oleh 23 pesawat transpor Douglas DC, sejumlah pesawat pembom B-25 Mitchell, pesawat tempur P-51 Mustang, dan P-40 Kittyhawk.
Serbuan udara terhadap Kota Yogyakarta dimulai pada waktu pagi hari tepat pukul 05.45 terhadap Lapangan Udara Maguwo yang minim pertahanan. Saat itu Badan Keamanan Rakyat (BKR) Udara baru terbentuk pada 5 Oktober 1945 dan dipimpin Komodor Udara Suryadarma. Kondisi BKR Udara saat itu masih minim sumber daya manusia serta peralatan terbang.
Namun demikian di Lanud Maguwo telah berdiri Sekolah Penerbang yang berdiri sejak 1 Desember 1945 menggunakan pesawat-pesawat bekas Jepang yang sudah dimodifikasi.
Ketika berlangsung serbuan udara yang dilancarkan oleh pesawat-pesawat tempur Militaire Luchtvaart (ML)-KNIL, di pangkalan terdapat tiga pesawat Zero bekas Jepang dan sekitar 37 kadet (siswa penerbang) serta sekitar 150 pasukan pertahanan pangkalan yang dalam kondisi tidak siap tempur. Hanya ada beberapa senapan dan satu senapan antiserangan udara kaliber 12.7 mm.
Semua pesawat MI-KNIL terbang dari Lanud Andir. Dan agar penerbangan puluhan pesawat itu berlangsung rahasia, semua pesawat terbang di atas Lautan Samudra Hindia dan begitu berada di atas Pantai Selatan, Yogyakarta mereka langsung melesat ke utara menuju Maguwo.
Dalam hitungan detik pesawat-pesawat Mustang dan Kitty Hawk langsung menghujani pangkalan udara dengan bom serta tembakan senapan mesin. Serangan udara militer Belanda itu sengaja menghindari kerusakan pada landasan agar bisa digunakan mendaratkan pesawa-pesawat transpor.
Sejumlah “pasukan Para” berupa boneka tiruan juga diterjunkan untuk mendeteksi asal tembakan yang dilepaskan pasukan BKR Udara di darat sehingga pesawat-pesawat tempur bisa menyapunya menggunakan senapan mesin. Serbuan udara yang berlangsung sekitar 25 menit segera melumpuhkan pertahanan yang berada di Lanud Maguwo.
Pada pukul 06: 45 pasukan Para Komando mulai diterjunkan dalam dua gelombang dan untuk selanjutnya mengoperasikan Lanud Maguwo sebagai pusat pangkalan aju untuk menguasai Yogyakarta dan sekitarnya. Setidaknya 128 pasukan RI gugur dalam opersai serbuan kilat itu sedangkan dari pihak Belanda belum ada satu personel pasukan pun yang gugur.
Perang gerilya
Operasi serbuan udara dilanjutkan serbuan darat oleh pasukan Belanda itu segera diketahui oleh Panglima Besar Sudirman (Pak Dirman) yang sedang berada di markasnya, Jalan Bintaran, Yogyakarta, sebelah selatan Keraton Yogyakarta.
Pada saat itu Pak Dirman sedang dalam kondisi sakit setelah menjalani operasi paru-parunya akibat terserang penyakit TBC. Tindakan operasi itu memutuskan untuk tidak mengaktifkan salah satu paru-paru sehingga Sudirman hanya bisa menggunakan salah satu paru-parunya dan masih dalam kondisi sangat lemah.
Menanggapi serangan Belanda itu, Pak Dirman kemudian mengeluarkan Perintah Siasat agar semua pasukan BKR tetap melakukan perlawanan melalui perang gerilya. Sudirman juga sempat menghubungi presiden, wapres, dan para stafnya untuk segera meninggalkan Yogyakarta, tapi himbauan Pak Dirman itu ternyata ditolak.
Presiden Sukarno dan para staf seperti sejumlah menteri memilih bertahan di kota dan akhirnya ditawan oleh militer Belanda untuk selanjutnya diasingkan di Sumatra serta Bangka.
Salah seorang anggota staf penting di lingkungan Sekretariat Markas Panglima Besar yang juga pengawal pribadi Pak Dirman, Kapten Tjokropranolo yang lebih akrab dipanggil Pak Nolly, segera mengontak Penasehat Politik Panglima Besar, Harsono Tjokroaminoto, yang juga mantan Menteri Muda Pertahanan semasa Kabinet Sjahrir III (1946-1947) untuk segera menghadap.
Kebetulan Harsono waktu itu juga sedang terserang penyakit desentri dan selama seminggu hanya bisa terkapar di tempat tidur. Isteri Harsono yang menerima telepon dari Nolly kemudian menjawab bahwa suaminya belum bisa bangkit.
Tapi karena kondisi sedang genting Nolly tetap mengharuskan Harsono hadir di markas dan akan dijemput oleh sopir menggunakan mobil Panglima Besar. Harsono tak bisa menolak ketika mobil yang menjemputnya tiba. Dengan susah payah ia pun berangkat.
Rute perjalanan yang ditempuh mulai dari Jalan Taman Yuwono - Jalan Malioboro - Istana Presiden – lalu belok kiri melintasi Kantor Pos-Pakualaman - dan Jalan Bintaran. Selama perjalanan menuju Bintaran bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur Belanda terutama di sisi timur kota di seputar kawasan Maguwo ledakannya terasa makin mendekat.
Tujuan bombardemen Belanda itu selain mencari sasaran yang bernilai militer juga bertujuan meruntuhkan moril tempur pasukan Indonesia agar tidak bisa memberikan perlawanan. Tapi karena Bintaran lokasinya masih dekat keraton dan militer Kerajaan Belanda masih sangit menghormati Keraton Yogyakarta sebagai wilayah netral, tak ada stu bom pun yang jatuh di seputar kawasan keraton.
Ketika tiba di kediaman Pak Dirman, Harsono langsung menuju kamar tidur Pak Dirman yang waktu itu ditunggui oleh Nolly.
Dalam kondisi fisik yang lemah Pak Dirman menceritakan semua peristiwa yang baru saja terjadi di Yogya dan sebagai panglima besar yang juga menjadi incaran militer Belanda, ia memutuskan meninggalkan Kota Yogyakarta. Tujuan utama perjalanan Pak Dirman dan rombongannya adalah daerah Gunung Kidul, kawasan berbukit-bukit yang sangat efektif untuk bersembunyi sekaligus melancarkan perang gerilya.
Namun untuk meninggalkan Yogyakarta yang mulai dikepung pasukan Belanda dan bombardemen yang terus berlanjut tidak mudah. Sebagai penasehat, Harsono lalu menyarankan agar rombongan Pak Dirman mencari tempat persinggahan di luar benteng Keraton Yogyakarta yang dikenal sebagai Mangkubumen.
Berdasarkan kesepakatan, rombongan Pak Dirman yang terdiri dari dokter pribadinya, Dr Suwondo, Tjokropranolo, ajudan Supardjo Rustam, dan Harsono lalu berangkat ke Mangkubumen yang saat itu ditinggali ibu-ibu dari Keraton.
Sebagai bangunan milik Sultan Yogyakarta, Mangkubumen masih merupakan properti yang tidak diganggu oleh militer Belanda sehingga persinggahan rombongan Pak Dirman dijamin aman.
Untuk menghindari patroli militer Belanda yang saat itu sudah berada di daerah Kauman dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari Mangkubumen, rombongan Pak Dirman yang menggunakan sejumlah jip sengaja berangkat sore hari. Mobil jeep Pak Dirman yang dikemudikan sopir pribadinya, Ateng, ditumpangi Supardjo Rustam yang duduk di sebelah kanan pengemudi.
Sedangkan Pak Dirman duduk di tengah diapit Dr Suwondo di sebelah kanan dan Harsono di sebelah kiri. Sedangkan Tjokropranolo yang bertugas sebagai penunjuk jalan duduk di atas spakbor.
Bagi Tjokropranolo kawasan selatan Yogya bukan merupakan daerah asing karena sewaktu masih bersekolah di Yogya, ia sering bermain di Bantul apalagi pamannya pernah menjabat sebagai Bupati Bantul.
Semula Tjkropranolo berniat membawa Pak Dirman ke Pantai Parangtritis (Bantul) dan bersembunnyi di goa, tapi karena Pak Dirman sedang sakit rencana itu dibatalkan dan kemudian diputuskan untuk bersembunyi di kawasan Gunung Kidul. (A Winardi)
Sumber : Angkasa
0 komentar:
Posting Komentar