Tak lama setelah Pentagon merilis laporan tahunan tentang kemajuan pesawat stealth F-35, Turki mengumumkan penundaan pembelian terhadap Lockheed Martin F-35 Joint Strike Fighters. Kenapa? “Biaya produksi tinggi” namun kemampuan tempur “tidak pada tingkat yang diinginkan”. Singkatnya, F-35 tidak bekerja dan terlalu mahal.
Reaksi Turki ini hanyalah puncak gunung es untuk program pengadaan militer paling mahal dalam sejarah. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sikap mitra lain yang tergabung dalam proyek pembelian F 35. Apakah mereka akan pernah mendapatkan apa yang awalnya dijanjikan ?. Turki yang pertama membuka lembar keraguannya.
Lockheed Martin membangun prototipe X-35 yang terbang pertama tanggal 24 Oktober 2000. Sekarang, lebih dari 12 tahun sejak penerbangan pertama, sekitar 65 pesawat F-35 telah dibuat meski ujicoba terhadap pesawat-pesawat itu jauh dari komplit. Sebagian ujicoba justru dilakukan di komputer, bukan di lapangan yang sesungguhnya.
Kini diketahui banyak persoalan yang muncul dari F-35, padahal tahun 2012, seharusnya telah memasuki masa produksi penuh. Dana yang dikucurkan pun membengkak dari estimasi tahun 2011 seharga USD 233 miliar menjadi USD 397 miliar. Membengkaknya dana pembuatan F-35 menyebabkan naiknya harga per pesawat. Tahun 2001 harga F -35 dibandrol USD 81,7 juta, kini membengkak menjadi USD 162,5 juta / satu pesawat.
Harga itu diperkirakan terus meningkat karena masih ditemukan berbagai macam kerusakan, antara lain: masalah sayap roll off, kemampuan landing di kapal induk, kemampuan stealth dan kemampuan dog fight, jika terdeteksi lawan.
Menurut laporan Director of Operational Test and Evaluation (DOT&E) tahun 2012, sistem tampilan helm-mount pilot tidak bekerja untuk semua versi F-35. Pesawat F-35C belum berkualifikasi carrier karena hook ekor tidak bekerja dan harus dirancang ulang. Kursi lontar di semua model menempatkan pilot pada risiko serius dalam penerbangan dogfight.
Perangkat lunak kontrol penerbangan masih dalam pengembangan dan sistem kontrol penerbangan tidak memiliki kemampuan yang ditargetkan. Komponen struktural utama retak dan memerlukan desain ulang.
Fatalnya, Lockheed Martin maju terus untuk mengeluarkan F-35 dalam segala kemuliaan cacat mereka. Akibatnya sekitar 100 pesawat yang sudah diproduksi harus di-retrofit perangkat lunak dan perangkat keras-nya.
Masalah Struktural
Temuan DOT & E dalam laporan pengujian dan pengembangan F-35 tahun 2012:
* Kerusakan pada stabilisator horizontal dan coating siluman saat high-speed di penerbangan high altitude (halaman 30, 32, dan 33 laporan DOT & E)
* Sebuah sayap retak (36) menghentikan pengujian daya tahan selama lebih satu tahun sampai bisa dianalisis dan diperbaiki;
* Kelemahan di pintu masuk udara tambahan pada versi F 35 veri B menyebabkan perlu disain dan pengujian ulang (32);
* Retak ditemukan pada tulang F-35A sayap kanan. Retak serupa dilaporkan di FY11 DOT & Laporan Tahunan E (36);
* Retak F 35 A ditemukan pada mesin kanan(37);
* Beberapa retakan muncul di bagian bawah badan pesawat sekat flange (37), secara efektif menghentikan pengujian F-35 B;
* Retak sebelumnya ditemukan di dalam pesawat sisi kananF 35 -B serta di bawah sayap tempat mengikat tiang dan senjata (37) dan satu lagi dalam struktur internal.
Konsekuensi
Semua itu memerlukan desain ulang untuk memperkuat bagian yang lemah, namun akan membuat penambahan massa komponen sebagai bagian dari desain ulang. Penambahan berat sebuah komponen meski hanya 1 persen akan memunculkan masalah baru dan terus menjadi tantangan yang signifikan.
Struktur pesawat juga masih bermasalah, seperti drive shaft untuk mengangkat fan (31) yang kini menjalani desain ulang kedua, ditambah pintu rusak (31), dan lain lain. Dengan demikian pesawat yang telah diserahkan harus ditarik kembali untuk retrofit.
Target dan Kemampuan F 35
Kemampuan yang dipatok Pentagon untuk F 35 adalah: sanggup terbang di ketinggian 50.000 kaki, Kecepatan 700 kts / 1,6 mach, Maximum G rating of 9.0 (Pesawat F 35-A), 7.0 (F 35-B), 7.5 (F 35-C) ; Turn performance of 5.3 sustained g’s F 35 -A), 5.0 sustained g’s (F 35-B), and 5.1 sustained g’s (F 35-C); Akselerasi dari 0,8 ke 1.2 mach dalam 65 detik; sudut serang (AoA) hingga 50 derajat.
Melihat kondisi F 35 saat ini, maka keinginan itu hanya angan-angan belaka. Uji laboratorium dan komputer ternyata memberi hasil yang mengecewakan dalam tes penerbangan dunia nyata.
Kondisi F 35 saat ini hanya mampu terbang hingga ketinggian 39.000, sementara yang diharapkan 50.000 kaki. Angle of attack tidak lebih dari 18 derajat, sementara yang diminta 50 derajat. Penerbangan terbatas pada kecepatan tertinggi 550 tidak pada 700 kts. Maksimum G rating jauh dari harapan. Percepatan transonik dari 0,8 ke 1,2 mach cacat secara signifikan karena dibutuhkan 8 detik lebih lama dari yang dipatok. 16 detik lebih lama dengan F 35 versi B, dan 43 detik lebih lama dengan F 35 versi C.
Kemampuan akselerasi yang buruk ini akan sangat fatal dalam pertempuran.
Satu sayap kehilangan daya angkat lebih cepat dari yang lain ketika pesawat mencapai kecepatan suara akibat gelombang kejut di bagian atas sayap. Seluruh pesawat bergetar saat hendak dipacu di kecepatan maksimal 700 kts akibat bentuk permukaan yang menimbulkan syok gelombang dan lapis aliran udara menjadi bergolak. Masalah ini muncul di semua versi pesawat.
Penurunan performa pesawat itu menyebabkan dalam operasi high altitude akan bermasalah dalam menghindari serangan SAM surface-to-air missile modern Rusia “double digit” seperti the Almaz-Antey S-300PMU2 atau SA-20 Gargoyle (NATO). Buruknya airframe pesawat juga membuat pilot susah menjalankan operasi di low altitude.
Banyak Pertanyaan
Banyak pengamat penerbangan bertanya-tanya, mengapa tes terowongan angin dan komputerasi permodelan fluida dinamis tidak memprediksi masalah itu dari awal, termasuk masalah tekanan grafitasinya ?. Mengapa akselerasi transonik F 35 akibat gelombang kejut pesawat kecepatan supersonik tidak terprediksi sejak awal ?.
Banyak yang menduga menyebabnya adalah jumlah uji terbang pesawat sangat minim, tidak lebih dari satu jam per bulan, sementara keinginan dan tuntutan dari militer terus berubah-ubah. Lebih parah lagi, pesawat ini lebih banyak diuji di komputer daripada di dunia nyata.
Senjata dan Bom Pintar
Sebagian besar senjata telah diujicoba kemampuan dan safe-release-nya. Sejauh ini bekerja dengan baik di level penerbangan normal. Yang dikhawatirkan adalah pesawat tidak stabil pasca melepaskan tembakan rudal saat terbang digrafitasi tinggi atau saat melakukan manuver banking atau diving karena uji coba mode ini belum dilakukan.
Teknologi penghubung komputer helm pilot yang mengontrol senjata juga belum sempurna. Tampilan layar video helm pilot tertunda 0,15 detik dari fakta sesungguhnya. Dalam dogfights dengan kecepatan lebih dari 1000 knot, keterlambatan kumulatif lebih dari seperempat detik dapat berpotensi fatal.
Ketajaman gambar di video helm pilot juga masih bermasalah sehingga rudal udara-ke-udara berteknologi tinggi serta bom pintar bisa tidak dapat diluncurkan.
Canon gatling 25 mm 4 barel hanya dipasang pada versi F 35 A. Pesawat F 35 versi C dan B tidak memiliki canon. Hal ini hanya mengulang kisah F-4 dalam Perang Vietnam yang tidak memiliki canon. Saat radar dan rudal Sparrow-nya tidak bekerja, F 4 hanya menjadi bulan bulanan Mig 17 dan 21. Pesawat F 4 E akhirnya didisain ulang dan membawa canon internal 20mm.
Mungkin pada awalnya pembuat pesawat berpikir pesawat ini 100 persen stealth sehingga tidak akan terjadi dog fight. Namun seiring kemajuan teknologi, Rusia telah menemukan teknologi penjejak pesawat stealth dengan cara mendeteksi emisi dari radar pesawat stealth tersebut.
Canon 25 mm 4 barel di di F 35 juga belum diujicoba menghadapi lapis baja. Sementara fakta menunjukkan canon GAU-8/A Avenger 7-barrel 30m milik A-10 Warthog yang mampu menghancurkan tank tank Saddam Husein dalam Perang Teluk.
Sungguh Ironi, Pesawat All in One yang akan menggantikan sekaligus peran F/A-18s dan AV-8B Harrier IISTOVL Marinir untuk keperluan ground attack, justru menjadi sosok pesawat tempur yang tidak jelas.
Combat Survivability
Dalam uji tembak, tak satu pun dari varian F-35 lolos dari ancaman HEI yang ditimbulkan dari fragmen dan ledakan canon 30 mm. Mirage 2000, MiG-29, dan Su-27 dan turunannya, serta T-50/PAK-FA stealth semua membawa meriam 30mm dan bisa dianggap musuh potensial untuk F-35.
Bukan hanya canon 30mm yang menimbulkan ancaman: berbagai jenis senjata 20mm, 7.62mm, 5.56mm atau fragmen dari yang terkecil seperti rudal panggul anti pesawat bisa menembus kulit F-35 dan memicu bencana hilangnya pesawat. F 35 varian A dan C memiliki volume bahan bakar yang besar di sekitar inlet mesin, dan sistem listrik 270-volt menyediakan tenaga yang cukup untuk percikan fatal dalam campuran udara dan bahan bakar. Karena bahan bakar ini juga digunakan sebagai penyerap panas ke dingin untuk sistem avionik dan lainnya yang memang sudah bersuhu tinggi. Bahan bakar pre-heated dan volatile ini digunakan sebagai cairan yang beroperasi di “sistem fueldraulic” F 35-B yang memutar mesin sangat panas exhaust nozzle selama mode STOVL.
Apa yang terjadi ketika peluru senapan nyasar ke bagian fueldraulic yang menyemprotkan bahan bakar pada tekanan 4000 psi ke dalam bay mesin di dekat nozzle knalpot bersuhu 1500-1700 derajat fahrenheit ?
Semua F-35 model bergantung kepada fly-by-wire flight control system tingkat komputerasi tinggi, dengan tempat avionik utama berada di bawah pesawat, sehingga rentan terhadap percikan api. Bahkan bila ada satu tembakan mengenai komputer kontrol penerbangan, pilot akan langsung kehilangan kendali.
Masalah lebih lanjut: Angkatan Udara menemukan sistem melarikan diri (ejected) yang memiliki “risiko serius” karena “interaksi antara pilot, kursi ejeksi, dan kanopi selama urutan ejeksi tidak tersusun dengan baik” .
Jadi, jangan pernah masuk ke pertempuran udara dengan MiG-29s atau Mirage 2000-an atau Su-27s atau PAK-FA atau kendaraan tempur lain yang dipersenjatai meriam 30mm, karena F 35 tidak bisa bertahan terhadap tembakan meriam mereka.
F-35B: Misi STOVL Risiko Tinggi
Sistem Kipas F-35B belum teruji melawan lidah api saat operasi pendaratan dan benar-benar berbahaya bagi F-35 B. Kemampuan STOVL F-35 B bisa berakibat kerusakan panas pada deck kapal dan permukaan lainnya. Laporan Angkatan Laut bulan Januari 2010 mempertanyakan bagaimana caranya untuk memastikan knalpot F-35 B tidak menyala dan menghasilkan bunga api saat mendarat. Hal itu bukan sepele. Bantalan vertikal landing akan terkena 1.700 derajat fahrenheit dan knalpot itu akan mencairkan aspal dan merusak permukaan beton lapangan udara. Dengan kondisi ini dibutuhkan konstruksi ulang pada lapangan pendaratan seperti: beton bertulang, pelapis khusus dan akan terus bertambah daftar perbelanjaan.
Dengan kondisi lapangan yang ada sekarang puing-puing akan terlempar dan tersedot ke dalam intake F-35 B. Tentu hal ini menjadi persoalan bagi Angkatan Laut, karena mereka telah membayangkan apa yang akan menjadi pada efek jangka panjang dari deck operator. Fatalnya pembahasan masalah ini dan solusinya tidak muncul dalam Laporan DOT & E 2012.
F-35 C: Kemampuan Carrier ?
F 35 C didisain agar bisa mendarat di kapal induk/ carrrier namun kemampuan operasinya masih cacat:
Kait alat penangkap kabel di dek kapal pengangkut tidak operasional dan sepenuhnya harus didesain ulang. Disain dasarnya bermasalah karena jarak antara roda pendaratan utama F-35C dengan kait ekor terlalu pendek, sehingga tidak memberi waktu yang cukup bagi kawat untuk tersangkut kail . Hook baru sedang diuji untuk menangkap kabel di landasan dek kapal, namun tes ini kurang berhasil. Keretakan diperkirakan akan terjadi di kerangka di tempat sistem hook melekat yang membutuhkan disain tambahan dari struktur tambahan dan diperkirakan akan menambah bobot pesawat.
Landing approach pesawat bermasalah dengan bukaan flap 30 derajat untuk mencapai kecepatan maksimum 145 knot agar handling menjadi baik. Ketika bukaan flap diubah menjadi 15 derajat, handling menjadi lebih baik namun meningkatkan kecepatan approach pesawat ke dek kapal rawan mendatangkan kecelakaan.
Kebutuhan 43 detik untuk tambahan akselerasi dari 0,8 ke 1,2 mach bersama munculnya hentakan transonik yang parah dan roll off pada sayap, menunjukkan F 35 -C hanya menjadi sebuah pesawat subsonik (kecepatan rendah) untuk operasi intercept udara dan serangan darat.
Transfer data taktis tidak bekerja. Pilot tidak dapat mentransfer data video atau data misi penting yang berhasil direkam ke sistem intelijen kapal induk . Kapal induk juga tidak bisa menerima transmisi 16 datalink imagery.
Pemeliharaan dan perbaikan datalink tidak lengkap, padahal datalink ini menjadi tempat dari banyak perangkat untuk terkoneksi. Pertanyaannya, bagaimana Lockheed Martin memberikan lebih dari 65 pesawat ketika bagian dasar atau sistem pesawat belum dirancang sempurna ?. Kejadian ini membuat banyak waktu terbuang karena harus mendisain ulang serta merevisi sitem untuk semua versi pesawat.
Dengan demikian dapat dikatakan F 35 mengalami kegagalan kritis secara struktur dan perangkat lunak. Masalah pertahanan diri dalam operasi tempur juga menjadi persoalan besar karena sistem secara keseluruhan masih dalam pengembangan. Selain itu pemeliharaan F 35 mmbutuhkan 44-50 orang/ jam, dua kali lipat dari jumlah orang yang melakukan pemeliharaan F 16.
Meskipun waktu persiapan pra-penerbangan diperpanjang, namun penerbangan F 35 varian A dan B rata-rata sekitar lima kali dibatalkan per 100 jam penerbangan, sebagai ambang batas memulai evaluasi kesiapan sistem untuk pelatihan. Lalu bagaimana kesiapan untuk pertempuran?
Software Mencekik F-35
F-35 didisain untuk menjadi pesawat tempur serba otomatis, seperti helm pilot yang bisa memetakan medan pertempuran dan memilih senjata untuk dikirim ke datalink sebagai transmisi sensor pesawat lainnya. Jika F 22 Raptor, saudara tua F 35 memiliki 2,2 juta baris kode komputer, maka komputer F 35 akan berlabuh 8,6 juta baris kode komputer. Dikhawatirkan banyaknya data yang harus diinstal dan diintegrasi, penyelesaian software pesawat akan terus tertunda dan sebagian modulnya tidak bisa diterapkan lagi. Kasus yang muncul antara lain software Blok 3i, yang bertugas sebagai pengiriman Lot 6 data pesawat dan host pada prosesor upgrade, telah tertinggal dalam integrasi dan pengujian laboratorium.
Software Blok 2B yang diperlukan untuk kemampuan tempur senjata internal yang dipilih (AIM-120C, GBU-32/31, dan GBU-12) juga masih terkendala dalam hal integrasi saat dilakukan pengujian laboratorium perangkat lunak. Tidak ada kemajuan nyata menuju apa pun yang menyerupai kemampuan tempur yang nyata. Bisa jadi semua ini belum tentu selesai pada tahun 2017 nanti. Apakah Turki mau menunggu lebih lama ?. Atau jangan-jangan negara lain ikut mundur teratur dari proyek F 35. (JKGR).
0 komentar:
Posting Komentar