Select Language

Rabu, 27 Oktober 2010

Online Crisis Management: Seandainya Saya PR RS Omni International ..

Bermula dari email seorang customer RS Omni International bernama Prita Mulyasari yang tidak puas dengan pelayanan RS tersebut, termasuk isu mallpraktek di dalamnya, kasus Prita VS RS Omni menggelinding sampai sekarang. Manajemen rumah sakit menuntut pasien yang adalah seorang ibu muda dengan dua anak (yang masih kecil-kecil dan salah satunya adalah bayi yang masih menyusui) itu dengan tuduhan pencemaran nama baik rumah sakit dan berhasil menjebloskan ibu muda itu ke dalam penjara.

Kabar mengenai ibu muda yang dipenjara karena email keluhan yang dikirimnya itu lalu menyebar secepat badai. Dengan teknologi internet, melalui media-media yang mempunyai pengaruh besar seperti Facebook, blog, dan juga media besar seperti Detik.com, dengan segera kasus itu mendapatkan simpati banyak orang. Gaung yang tumbuh di online ini semakin diperbesar ketika mulai dilirik oleh media-media tradisional. Televisi, radio, media cetak semua mulai tertarik dengan kasus ini. Tentu saja kasus ini menarik karena memancing emosi banyak orang.

Semua media itu berbahasa satu: menokohkan sang ibu muda sebagai pahlawan, pejuang internet yang dikorbankan karena menyuarakan suara konsumen. Sebaliknya, semua media membuat rumah sakit tampak seperti penjahat. Emosi yang ditimbulkan kepada masyarakat sangatlah besar. Sampai-sampai ada orang yang lewat di depan rumah sakit itu dan langsung timbul rasa marah. Di media online semua memasang bendera dukungan kepada si ibu, serentak semua pengguna internet menunjukkan solidaritas yang sangat besar kepada si ibu, dan sebaliknya gerakan “say No” pada rumah sakit itu tidak kalah besarnya.

RS Omni tidak gentar. Dia tetap mengarahkan pengacara-pengacaranya melakukan gugatan-gugatan yang mengacu pada UU ITE yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Saat ini, status kasus ini adalah upaya lagi menjerat Prita dengan denda senilai Rp 204 juta dan hal ini memunculkan gerakan pengumpulan koin buat Prita yang sudah mencapai Rp 277 juta.

Sementara selama kasus ini menggelinding, reputasi RS Omni terpuruk di mata publik. Banyak asumsi-asumsi publik mengisyaratkan RS Omni arogan, tidak professional, mall praktek, menyeramkan, dan lain sebagainya. Nama buruk buat RS ini setidaknya terus berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan lamanya kasus ini menggelinding.

Analisis Peran PR RS Omni dan Pemberitaan Saat Itu

Sepanjang pengamatan saya, peran PR RS Omni tidak benar-benar menjalankan tugasnya sebagai PR. PR RS Omni lebih merunduk mempersilakan manajemen RS Omni melakukan pembelaan hukum lewat pasal UU ITE. Tidak ada program penanganan crisis management yang dilakukan PR RS Omni. Tampaknya, ingin tampil menjadi yang paling benar di mata hukum tampaknya lebih penting daripada ingin merestruksturisasi reputasi perusahaan di mata publik.

Terbukti dari pengamatan sepanjang kasus ini membesar, mulai dari blog, Facebook, dan juga media-media online besar. Dalam dua bulan pertama, ada 27.842 posting di blog mengenai kasus itu, tak satu pun yang membela RS OMNI. Semuanya negatif. Tidak butuh waktu yang lama, dalam waktu lima hari saja, dukungan bagi ibu Prita Mulyasari di Facebook mendapatkan lebih dari 180.000 anggota.

Menggegerkan negeri karena menjadi headline di berbagai media cetak, radio, TV, dan online di tengah maraknya kampanye Pemilihan Presiden (pilpres) 2009. Bahkan dua kali Prita vs RS OMNI masuk ke halaman satu koran Kompas, sebuah media yang tergolong amat hati-hati mengangkat sebuah isu. Menghancurkan reputasi RS OMNI karena nyaris tidak ada berita yang positif mengenai RS ini. Bahkan hasil search di Google dengan kata kunci “RS OMNI” dipenuhi dengan berita negatif plus tulisan miring dari para blogger pembela Prita.

Hasil pemantauan di online, baik melalui Google, berbagai komentar di berbagai media online, postingan para blogger, percakapan di social media seperti Facebook, maupun mailing list nyaris 100% buruk untuk citra RS OMNI. Sulit menemukan suara di online yang membela RS OMNI, kecuali suara lawyer-nya yang dikutip oleh media massa. Sayang, suara lawyer ini tenggelam di balik gelombang dahsyat pengutuk RS OMNI yang memerkarakan dan dan memenjarakan pasiennya sendiri (Luthfie, 2009).

Suara lawyer. Sekali lagi: suara lawyer. Ya. Itulah yang terekam di media massa dan social media online. Lalu ke mana suara manajemen atau suara Public Relations? Kalau pun ada, suara manajemen tenggelam di balik suara lawyer, dan suara lawyer tersapu oleh suara publik. Publik melalui social media, seperti Facebook dan blog, menguasai opini mengenai RS OMNI yang cenderung negatif. Ini diperparah oleh suara media yang juga membela Prita. Apalagi pada saat yang sama sedang ada kampanye pilpres dan Prita juga dijadikan salah satu bahan kampanye. Habis sudah citra baik RS OMNI oleh penguasaan opini publik ini.

Puncaknya adalah dukungan pengumpulan koin yang saat ini sudah mencapai Rp 277 juta, jauh melebihi dari permintaan denda Prita sebelumnya yakni Rp 204 juta (tv one, 2009). Ini membuktikan reputasi RS Omni sudah benar-benar terpuruk dan PR RS Omni tidak melakukan pekerjaannya dengan baik terutama dalam menangani online crisis management.

Boleh dibilang, RS OMNI menghadapi crisis management level tertinggi yang amat sulit diatasi. Dan itu semua, untuk pertama kalinya di Indonesia, krisis itu dipicu oleh online, hanya dari sebuah email, yang kemudian meledak di media konvensional, baik cetak, radio maupun TV.

Status terakhir, per tanggal 14 Desember 2009, akhirnya Rumah Sakit Omni Internasional mengajukan surat pencabutan perkara perdata terhadap Prita Mulyasari di Pengadilan Negeri Tangerang. Proses pencatatan hanya belangsung sekitar tiga menit.

Tindakan Pencegahan

Di era PR 2.0 seperti sekarang ini, akses reputasi perusahaan menjadi lebih terbuka dan langsung ke publik, dalam hal ini customer perusahaan itu sendiri. Akses social media yang sudah membumi dan menjadi teman kesehari-harian publik membuat publik memiliki power yang besar membentuk opini, menyebarkan berita, dan mempengaruhi publik lain akan sebuah isu perusahaan.

Sebelum era PR 2.0, akses ini hanya bisa melalui media massa. Saat itu, power media sangat kuat. Media menjadi akses satu-satunya untuk membentuk opini, menyebarkan berita dan mempengaruhi publik. Komunikasi pun berlangsung 2 arah (timbal balik) antara perusahaan dengan publik, tapi melalui perantara media. Sehingga akses menjadi tidak langsung, berlangsung lebih lama, dan banyak noise komunikasi yang terjadi.

Sekarang, akses menjadi langsung, cepat dan noise komunikasi cenderung bisa diminimalisir. Setiap isi otak publik dapat dituangkan dalam social media, dan memiliki potensi untuk mempengaruhi publik lainnya.

Social Media is a direct to consumer approach that allows audiences to drive the communication in the communities. PR professionals are beginning to incorporate PR 2.0 into their strategy and planning as an effective way to communicate directly to web 2.0 audiences, to raise awareness and increase overall brand exposure (Breakendridge, 2009)

Sementara menurut Nukman Luthfie, dari Virtual Consultant, menyebutkan di era web 2.0 era online social media, era di mana konsumen melakukan percakapan secara horisontal satu sama lain di dunia maya, sudha jelas bahwa peran PR jauh lebih penting ketimbang marketing (Luthfie, 2009).

Mengenai hal ini, peran PR di era 2.0 menjadi semakin kompleks. Kalau sebelumnya untuk memonitor reputasi perusahaan, brand image, dan lain-lain seorang PR mendapat tolak ukur dari media massa baik koran, majalah, radio, tv, dan media online, maka ini tidak sepenuhnya bisa berlaku di era PR 2.0. Seorang PR 2.0 yang mengerti perkembangan ini, akan juga memantau opini-opini yang terjadi diranah social media, yang merupakan media langsungnya publik menuangkan segenap pikiran-pikirannya, termasuk potensinya untuk menyebarkan isu perusahaan (Breakenridge, 2009).

Termasuk dalam kasus Prita yang meluluhlantahkan reputasi RS Omni sebagai rumah sakit internasional, seharusnya PR melakukan monitoring dini atas apa-apa yang akan terjadi sebelum berkembang menjadi besar. Melalui kualitas hubungan baik antara perusahaan dan customer yang terpadu (maksudnya melibatkan juga area customer relations management), PR RS Omni seharusnya tanggap dengan melakukan beberapa tindakan pencegahan sebagai berikut:

  1. Melakukan monitoring perusahaan di social media termasuk blog, twitter, facebook. Hal ini bisa dilakukan dengan berlangganan Google Alert, yang nantinya akan mendeteksi keyword-keyword yang berhubungan dengan perusahaan dan hasil deteksi ini akan dikirimkan ke email kita. Begitu juga dengan fitur facebook dan twitter.
  2. Melakukan enggagement/lobbying dengan social media influencer, seperti blogger dan twitter yang memiliki banyak pengikut. Seperti media relations untuk posisi tanggung jawab PR, perlu juga diadakan social media influencer relations yang menjadi perhatian khusus divisi PR sebuah perusahaan.
  3. Tetap meningkatkan kualitas dengan media massa konvensional dan online, terutama pimpinan media terkait sehingga level lobbying tetap bisa terjaga.
  4. Tanggap jika melihat ada isu langsung yang kira-kira memiliki potensi negatif bagi reputasi perusahaan, dan langsung disikapi bijaksana dengan barometer reputasi perusahaan sebagai taruhan utamanya, dan bukan tentang siapa yang benar siapa yang salah (Breakenridge, 2009).

Tindakan Reaktif saat Email Prita Beredar

Sengaja digarisbawahi tindakan yang dilakukan sejak Email Prita beredar, karena saya pribadi angkat tangan kalau harus menjadi PR RS Omni di saat sekarang, saat di mana RS Omni sendiri sudah mengakui kesalahannya yang sangat terlambat dengan mencabut gugatan terhadap Prita ketika gerakan koin Prita sukses berat didukung mayoritas publik. RS Omni tetap bisa memperbaiki reputasinya, tapi perjalanannya akan sangat panjang, membutuhkan waktu yang sangat lama (bisa puluhan tahun), biaya yang sangat tinggi dan konsistensi perbaikannya harus terus menerus terjaga.

Karena ini sudah masuk dalam online crisis management, maka penanganannya pun harus hati-hati, karena sifatnya yang memiliki akses langsung, cepat dan dampaknya yang lebih besar sangat besar ketimbang web 1.0 (menurut Reed Law). Maka beberapa penanganan yang harus dilakukan berdasarkan gabungan studi kasus Sosro dan Oli Top 1, adalah sebagai berikut:

  1. Internal Communication dikedepankan. Ketika email Prita beredar, manajemen harus tanggap meng-counter informasi tersebut dengan melakukan penjelasan terlebih dulu dengan karyawan. Ini penting, karena basis paling dasar kekuatan perusahaan terletak dari kekompakan internalnya terlebih dahulu. Jangan sampai informasi dari luar, yang belum dikonfirmasi kebenarannya menjadi backfire buat internal perusahaan. Informasi ini perlu di-counter dari pihak manajemen, yang segera dikomunikasikan dari pimpinan tertinggi perusahaan langsung ke karyawan. Sehingga kredibilitas perusahaan tetap terjaga dari sisi internal.
  2. Cepat, akurat dan konsisten. Ketika isu muncul jangan didiamkan, tapi langsung ditanggapi cepat, akurat dan konsisten. Setelah komunikasi internal diselesaikan, baru berlanjut ke komunikasi eksternal. Tunjukan ke publik konfirmasi kebenarannya. Jika memang isu itu HOAX, buktikan kalau isu itu HOAX. Jika sebaliknya, minta maaf dengan mengedepankan perbaikan, penggantian kerugian, dan lain sebagainya yang mengatasnamakan penyelamatan reputasi perusahaan.
  3. Jika isu benar, berdamailah dengan pihak yang menyebarkan isu fakta ini. Libatkan pihak tersebut dalam perbaikan-perbaikan reputasi perusahaan Anda. Gandeng influencer-influencer sosial media dalam urun rembug bersama media massa terkait, baik online media maupun media tradisional. Dan pastikan publik tahu yang terjadi. Pastikan, bahwa perusahaan Anda bukan perusahaan sempurna yang tidak pernah berbuat kesalahan, tapi perusahaan yang ingin belajar menjadi sempurna, yang mau mengakui kesalahan dan melakukan perbaikan ke depan.
  4. Banyak melakukan posting-posting respon, komentar, berita positif di media online dan media tradisional secara berkesinambungan. Ini termasuk di ranah komunitas yang cukup strategis bagi perusahaan. Hal tersebut dilakukan untuk menyeimbangkan konotasi berita negatif perusahaan, sehingga perusahaan tidak melulu diakses berita negatifnya. Untuk tahap ini juga sangat disarankan melibatkan peran eksternal publik.
  5. Melakukan tindakan proaktif meng-embrace kekuatan social media dengan membentuk komunitas-komunitas yang mendukung reputasi perusahaan. Mungkin dengan membuat media personal perusahaan di online, seperti blog, atau komunitas website atau twitter dan facebook yang inti pesannya adalah merecovery reputasi perusahaan. Dalam melakukan strategi ini, kombinasikan dengan taktik-taktik kreativitas yang membuat orang tertarik untuk bergabung.
  6. Melakukan event perusahaan untuk kalangan eksternal strategis, yang melibatkan enggament publik yang strategis. Bisa jadi ini adalah usaha penciptaan aktivitas below the line yang menjawab bahwa reputasi perusahaan Anda memang layak diperjuangkan. Bentuknya bisa jadi sponsorship marketing dan event marketing.
  7. Karena ini merupakan manajemen krisis, maka tidak perlu lagi mempergunakan SOP manajemen regular. Manajemen perusahaan seyogyanya tidak melibatkan hukum dalam hal ini. Karena ini urusan reputasi dan bukan urusan siapa benar siapa salah.

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner