Select Language

Rabu, 27 Oktober 2010

Duh kasihan banget sih nasib ibu prita ini. Saya kira dulu kasusnya sudah selesai eh ternyata cuma di tunda saja malah kok ada denda 204 juta? tiap hari nonton tv pasti topik utamanya seputaran anggodo, century , dan prita. Soalan kasus cicak vs buaya kemarin memang saya nggak mau ikut-ikutan nulis di blog ini karena sangat rumit keadaannya jadi saya takut salah menulis. Kalau untuk kasus prita ini boleh deh saya menulis sedikit unek-unek sekalian membela kebebasan berekspresi.

prita-mulyasari

Ini ada bukti email yang ditulis atas nama prita mulyasari, saya dapatkan dari sumber

Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.

dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
prita.mulyasari@yahoo.com
081513100600

Kalau ditelusuri dari awal sekali kasus ibu prita ini bermula dengan adanya mass mail dari ibu prita ke beberapa orang dalam sebuah jaringan mail-list. Dimana isi dari tulisan tersebut menceritakan tentang buruknya manajemen dan pelayanan RS OMNI kepada ibu prita. Stop sampai disitu sebenarnya kasus ini mempunyai 2 sisi yaitu Pertama ibu prita ingin menuntut haknya sebagai konsumen, OMNI juga ingin menuntut haknya sebagai lembaga pelayanan. Kedua posisi ibu prita yang menulis dan mengirimkan mass mail itu memang kurang bagus keadaannya karena bisa dikategorikan spam/fitnah, pihak OMNI paham dengan baik tentang aturan ini sehingga melakukan tuntutan yang sampai sekarang belum juga terselesaikan dengan baik. UU ITE yang kurang jelas dan rancu juga ikut turut andil dalam sisi kedua sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum yang jelas.

Inilah bukti beberapa kebobrokan, yang pertama, dimana yang namanya LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN! sudah dari dulu lembaga perlindungan konsumen di Indonesia ini hanya nampang nama dan keren doang tanpa hasil. Lihat beberapa bukti orang berteriak layanan speedy buruk bla bla bla mana ada respon dari lembaga ini untuk memperjuangkan hak konsumen, konsumen di Indonesia adalah slave! (budak) dan produsen adalah raja. Sekali lagi terbukti yang punya lebih banyak RUPIAH di negeri ini akan menang dalam segala hal. Kedua, PARAHNYA tingkat korupsi di lembaga peradilan. Saya rasa semua sudah taulah beberapa lembaga yang kemarin di angkat ke permukaan, ada 4 lembaga terkorup di Indonesia tidak perlu saya sebutkan karena saya takut juga hehehe… pokoknya lembaga peradilan termasuk dalam salah satunya. Adanya mafia hukum yang memperjual belikan hukum di Indonesia seperti layaknya pisang goreng!. Cukup 2 ini saja yang saya ungkapkan…

Kalau merujuk ke UU ITE pasal 43 ayat 5 e yang berbunyi:

melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana.

Hmmmmm apakah sudah ada ahli yang bisa membuktikan dengan akurat tentang hal ini? karena ini hukum sudah seharusnya ada bukti yang bisa dipertanggung jawabkan. Bagaimana caranya membuktikan bahwa ibu prita adalah pengirim email ini sebenarnya mudah untuk dibuktikan, untuk penerima email bisa membuka informasi penuh tentang asal mula email tersebut disitu akan terlihat sebuah IP yang bisa ditelusuri lebih sampai kedalam sampai benar dan pasti merujuk pada sebuah alat elektronik. Kalau tidak bisa membuktikan ini maka sebenarnya ibu prita HARUS dibebaskan dari tuntutan spam/fitnah karena tidak ada bukti yang bisa ditunjukkan.

Melihat dari sisi manusiawi, Saya yakin dan amat sangat yakin 70% kasus ini akan dimenangkan ibu prita ASAL ada syaratnya:

  1. Lembaga peradilan tidak menerima suap dari siapa saja. Termasuk dalam hal ini pihak RS OMNI, saya dengar dari banyak isu RS OMNI melakukan penyuapan kepada lembaga peradilan.
  2. YLKI paham dan memperjuangkan hak-hak prita sebagai konsumen. Dalam kasus ini adalah sebenarnya prita lebih mengarah kepada protes pelayanan tetapi menggunakan proses mediasi yang salah.
  3. Kejelasan UU ITE yang tidak rancu.

Saya sudah tau tentang gerakan “koin untuk prita” sebenarnya dalam kasus ini Prita sudah lebih dulu menang sebelum keputusan lembaga peradilan keluar. Hukum dibangun oleh masyarakat dan masyarakat bisa menentukan hukum itu sendiri. Jadi kalau ada gerakan koin untuk prita yang sangat kuat ini sebenarnya sudah terlihat masyarakat lebih memihak kepada prita di banding OMNI. Kalau ini diteruskan maka pihak OMNI kemungkinan besar akan kalah karena kekuatan masyarakat akan lebih besar dibanding kekuatan suatu lembaga. Kalaupun pihak OMNI menang dalam tingkat lembaga peradilan maka rakyat Indonesia pasti tidak akan diam saja mengingat rakyat sudah merasa HUKUM tidak lagi memberikan peradilan bagi semua orang, namun hukun hanya memberikan kemenangan kepada yang memilik lebih banyak RUPIAH.

Saya malu juga melihat kasus ini sampai terdengar diluar negeri, bahkan ada seorang penulis yang membeberkan kebobrokan hukum di Indonesia, apa tidak malu? Indonesia kembali lagi di anggap membatasi kebebasan berekspresi individual. Memang boleh saja bebas berpendapat namun tentunya INGAT bukan bebas yang kelewatan batas, hak-hak primer individual saja masih terbentur dengan hak individu lain. Dalam hal ini seharusnya UU mengatur semuanya sehingga menjadi jelas.

Yah semoga saja kasus ini cepat selesai kasihan juga prita karena mengirim mass mail berakibat denda uang dan penjara kan tidak lucu… Kalau yang dicari win-win solution lebih baik lagi kalau keduanya berdamai dengan tidak ada sisa tuntutan, selesai deh perkara tidak perlu pakai ribut-ribut dan argumen siapa yang benar dan siapa yang salah. Tinggal yang mengerjakan UU ITE lebih spesifik dan jelas saja tentang kategori aturan mainnya.

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner