Beberapa dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta, tahun 2012 mengisyaratkan, bakal ada geopolitical shift atau pergeseran geopolitik ---dalam konflik global--- dari Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara) menuju Asia Pasifik, bahkan “titik sentral”-nya, atau lokasi konflik pun telah ditandai oleh GFI berada di Laut Cina Selatan. Dan tampaknya, proses dimaksud kini sedang berlangsung.
|
Selanjutnya alasan pokok kenapa pergeseran terjadi, tak sedikit diulas oleh para penulis di website www.theglobal-review.com dan beberapa buku terbitan GFI, terutama Journal Kedua yang bertajuk: “Merobek Jalur Sutera Menerkam Asia Tenggara” (2 Januari 2013). Penulis tak ingin mengulang-ulang bahasan kecuali sekilas untuk menyambung paragraf saja. Catatan ini hanya memotret fenomena sehubungan perubahan “titik sentral”-nya secara fokus. Dengan kata lain, mencoba mengurai (breakdown) anatomi “ruh”, ataupun penyebab utama kenapa sentral (pemicu) geopolitical shift seolah-olah berpindah ke Laut Cina Timur, lepas dari prakiraan GFI sebelumnya. Inilah ulasannya.
Dalam perspektif asymmetric warfare (peperangan asimetris), pergeseran geopolitik akan membawa konsekuensi logis pada perubahan unsur, elemen maupun tahapan suprastruktur politik (pendukung)-nya. Maksud unsur atau tahap suprastruktur disini ialah isue, tema dan skema. Pada tataran isue (permulaan) misalnya, pola kolonial di Laut Cina sekarang tak lagi menyoal kepemimpinan tirani, bukan pula perihal isue genocida, atau korupsi, tidak juga soal demokratisasi, atau isue nuklir, dan lain-lain. Isuenya kini tunggal, yakni “sengketa perbatasan”. Itulah yang saat ini tumbuh semarak di Laut Cina. Masih dalam koridor asimetris, lazimnya “tema” kolonial yang bakal diletuskan pasca isue ditebar ialah konflik terbuka, baik bersifat intrastate (konflik internal dalam negara) maupun interstate (konflik antar negara). Ini pola berulang, kecuali isue dimaksud terkontra sendiri, atau dikontra secara langsung oleh pihak-pihak ter-“target” dan yang ditarget. Sedangkan “skema” penjajahan sebagaimana kerapkali saya katakan di berbagai tulisan, hampir-hampir tak pernah berubah sepanjang zaman, yaitu penguasaan ekonomi serta pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di negeri koloni. Sering keduanya, baik penguasaan ekonomi maupun pencaplokan SDA berjalan simultan dengan intensitas berbeda, atau acapkali justru “satu tarikan nafas” (serentak) pada sebuah kolonisasi melalui pintu tata ulang kekuasaan ---ganti ‘boneka’--- semacam tata ulang (Arab Spring) yang sedang berproses namun out of control di Jalur Sutera (Silahkan baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung, di www.theglobal-review.com), dan lainnya. Dokumen Project for the New American Century and Its Implication, 2004 (PNAC)-nya Pentagon, jelas menyiratkan, bahwa salah satu “misi” Paman Sam ---jika tidak boleh disebut tujuan--- ialah membendung gerak laju Cina. Tak bisa dielak. Penyerbuan NATO dkk ke Mali dan invasi militernya ke beberapa negara (kecil) Afrika berdalih terorisme, radikalisme Islam, dll adalah potret aktual terkait upaya-upaya Barat membendung pengaruh Cina di Afrika. Pertanyaanya sederhana: apakah Mali akan diserbu NATO bila ia cuma penghasil singkong belaka? Maka pemahaman what lies beneath the surface dan kajian strategis Deep Stoat if you would understand world geopolitic today, follow the oil barangkali merupakan jawaban atas (setiap) agresi militer Barat ke berbagai negara. Minyak, emas dan gas bumi. Ini cuma gambaran selintas, betapa banyak contoh-contoh lainnya. Kenapa Laut Cina Selatan Kunci daripada isue-isue sengketa perbatasan di Laut Cina Selatan sesungguhnya berada di dua kepulauan, yaitu Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Inilah pemetaan konflik (saling klaim) atas beberapa negara di sekitar kepulauan dimaksud: (1) Kepulauan Spratly. Ya, selain menyimpan konflik antara Cina versus beberapa negara seperti Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam, Brunai Darussalam, dll bahkan di antara sesama anggota ASEAN sendiri terdapat endapan sengketa atas Spratly, saling mengklaim kepemilikan. Itulah fakta-fakta yang nyata; yang ke (2) Kepulauan Paracel. Dalam konteks ini, sengketa Paracel melibatkan Cina, Vietnam serta Taiwan. Dan Cina pun, masih berseteru dengan Philipina terkait Karang Scarborough, yang sempat memanas dekade 2012-an lalu. Dari mapping sengketa, konflik Kepulauan Spratly mungkin paling menarik, karena melibatkan sejumlah negara Asia Tenggara seperti diurai sekilas di atas. Kenapa ia diperebutkan oleh banyak negara, memang ada takdir leverage atas geopolitik dan geo-posisi daripadanya. Artinya, selain letaknya strategis di jalur perairan internasional, juga paling utama potensi SDA berupa minyak dan gas alam yang melimpah di Kepulauan tersebut. Aspek geostrategi sudah jelas, barangsiapa menguasai Spratly maka identik mengendalikan jalur pelayaran bagi kapal-kapal yang hilir mudik antara Lautan Pasifik - Lautan Hindia. Itulah geopolitical leverage yang diperebutkan para adidaya dunia. Apa boleh buat. “Nasib”-nya mirip Syria, meski ia tak sekaya minyak seperti Libya, Irak, Iran, dll tetapi Syria toh diperebutkan para adidaya Timur dan Barat karena faktor geopolitic of pipeline dan geostrategy position di Jalur Sutera (Baca: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria, di www.theglobal-review). Prakiraan kandungan minyak di Spartly sekitar 10 milyar ton (International Herald Tribune, 3 Juni 1995), namun The Geology and Mineral Resources Ministry of the People’s Republic of China memperkirakan kandungannya 17,7 miliar ton. Masih simpang siur, tetapi jika merujuk lembaga geologi Cina tadi, data-data ini menempatkan Spratly sebagai kawasan dengan cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Luar biasa. Sudah barang tentu, dari perspektif hegemoni yang kini tengah dirajut oleh Negeri Tirai Bambu, menguasi kepulauan tersebut identik mengurangi ketergantungan impor minyak baik dari Kawasan Afrika, Timur Tengah, maupun Asia Tengah, dan lain-lain. Lain Spratly lain pula leverage Kepulauan Paracel. Bagi Tirai Bambu, selain dalam konflik hanya berhadapan dengan Vietnam dan Taiwan ---ex provinsinya---, urgensi Cina terhadap kepulauan tersebut tidak kalah penting dibanding Spratly. Oleh karena dari sisi geostrategi, menguasai Kepulauan Paracel bisa mengawasi gerak navigasi di bagian utara Laut Cina Selatan, kendati dari sisi SDA, hanya gundukan batu karang. Akan tetapi kuat disinyalir, Paracel juga memiliki kandungan minyak dan potensi gas alam yang besar, meski belum didukung data-data secara resmi. Secara geopolitik, menguasai dua kepulauan dimaksud, otomatis mengendalikan perairan internasional, menguasai kekayaan (potensi) SDA-nya, juga dapat dijadikan “batu loncatan” jika kelak berhasrat menyerang Daratan Asia. Untuk leverageterakhir, mungkin baru sebatas dugaan extreem penulis. Abaikan! (Bersambung Bag-2) |
Pages
Diberdayakan oleh Blogger.
Archive
-
▼
2013
(2559)
-
▼
Desember
(206)
- Australia-Indonesia Latihan Militer Bersama
- Pelepasan Unsur Satgas Opersi Arung Hiu-13
- Indonesia Menurunkan Kualitas Hubungan dengan Aust...
- Arkeolog Temukan Kapal Selam Nazi Jerman di Laut Jawa
- KRI dan Pesawat Udara TNI AU Jalin Kerja Sama Taktis
- Indonesia kini Marah Besar Kepada Australia
- Sadap Indonesia, Australia Harus Bayar Mahal
- Sudahkan Pembelian Alutsista TNI Sesuai Kebutuhan?
- Memandang Matahari Kilo 2014
- Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur? (Bag-3)
- Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur? (Bag-2)
- Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur?
- Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur? (Bag-4)
- Kim Jong-un: Perang Bisa Pecah tanpa Pemberitahuan
- Ada Leopard di Hari Juang Kartika
- Menggeser Leopard 2 ke Jawa Timur
- Pantsir S-1, Sang Pagar Udara (bag. 2)
- Pantsir S-1, Sang Pagar Udara (bag. 1)
- Seputar Reaksi Atas Penyadapan
- FLIR SAFIRE III di Pesawat CN-235 Patroli Maritim ...
- Semakin Bertaji di Tahun 2014
- Akhir Tahun, PT.DI Serahkan Beragam Pesawat Pesanan
- Situs Garuda Indonesia Jadi Korban Perang Hacker?
- [Foto] HUT Marinir ke 68
- Kisah perebutan Don Bosco, gudang peluru terbesar ...
- Pangdam VI Tuding Polis Diraja Malaysia Kurang Koo...
- Sharp Knife Airborne 2013
- Langkah Menuju Kemandirian Industri Pertahanan
- Dua Pesawat T-50i GE Pengiriman Batch Ke-5 Mendara...
- Analisis : Alutsista Antara Ruang Dan Waktu
- Pembelian Satelit Militer Akan Gunakan Dana PNBP K...
- AU Rusia Terima 12 Su-35 Pada 2013
- Pesawat T-50i GE Batch Kelima Transit Di Lanud Bal...
- Target Pasar PT. DI Di Tahun Depan
- 116 Prajurit Korps Marinir Ikuti Pelatihan Calon A...
- 3 Kapal Angkut Untuk Kodam Pattimura
- TNI AL Gelar Latma “ Multilateral Komodo 2014”
- Kakap-811 Amankan Perbatasan Indonesia Philipina
- Ironi Popularitas AK-47 Dan Selembar Tiket Pesawat
- Panglima TNI Lepas 1.169 Prajurit Misi Perdamaian ...
- Frigate SIGMA 10514, Seperti Apa Barangnya ?
- 3365 Prajurit TNI Latihan Perang di Hutan Simalungun
- Foto : Panglima TNI Tinjau Latihan Penanggulangan ...
- Tony Abbot Janji KTT G-20 Bebas Sadap
- Pengamat: Australia Tekan RI dengan Isu Papua
- HUT OPM, Situasi Perbatasan RI-PNG Aman
- Prajurit KRI Malahayati-362 Tegar Jaga NKRI
- Indonesia Harus Buat Simulator Tempur Secara Mandiri
- Satgas TNI Di Kongo Perbaiki Dan Buat Jalan Sepanj...
- Satgas TNI Kawal Water Tank Spanyol
- Kedatangan Satgas Garuda XXIIII-G/UNIFIL Di Wilaya...
- Nilai Strategis Selat Malaka Terancam Jalur Sutra ...
- Januari 2014 Tim Teknis Kapal Selam Berangkat Ke R...
- China Menimba Ilmu Pengamanan Tingkat Internasiona...
- SBY : Dunia Tidak Selalu Bersahabat, Indonesia Har...
- 8 Unit F-16 Hibah AS Perkuat TNI AU Tahun Depan
- Koarmabar Diperkuat 3 KRI Hasil Repowering
- Ratusan OPM Kembali Ke Pangkuan NKRI
- KRI Alamang 644, KAL Kumai I-6-58 Dan KAL Bireun I...
- TNI AL Dan US Navy Bahas Latma Carat 2014
- 2014 TNI AD Akan Diperkuat 50 Tank Marder
- Setelah 13 jam, hacker Indonesia lumpuhkan situs I...
- TNI Akan Datangkan Helikopter Serang Apache
- Spesifikasi dan Tantangan ToT Kapal Selam RI-Korea...
- Menhan Berharap Program Korvet dan Kapal Selam Nas...
- Radar Pasif
- Situs Bareskrim Polri tak diretas Australia
- Indonesia Memasuki Era Kebangkitan Industri Pertah...
- Ada Pendapat, Penyadapan Hal Biasa, Tidak ada Raha...
- Menhan Mengukuhkan KRI Banda Aceh
- Hacker Indonesia Menyerang Situs Intelijen Austral...
- “Berlindung” di Dalam Bunker
- Serang asio.gov.au, hacker Indonesia didukung pere...
- Penolakan Penampungan Sementara Pencari Suaka
- Cegah Penyadapan Asing, RI Harus Perkuat Sistem Sandi
- Peringatan Anonymous Australia untuk Hacker Indonesia
- RI Disadap, Tinjau Kerja Sama AS & Australia
- Spionase Kanguru di Tanah Garuda
- Neraka Inggris di Timur Jawa
- Mengintip Konsep Ruang Bawah Tanah Monas
- Cara Elegan RI Desak AS Akui Penyadapan
- Hacker Australia ikut bantu peretas Indonesia sera...
- Hacker Australia Serang Situs Presiden Tapi Salah ...
- Menhan Indonesia - Australia Diskusi Isu Strategis...
- Tugas Terakhir, KRI Diponegoro-365 Menjadi MIO Com...
- Repatriasi Harga Mati
- Aksi Penyadapan Asing dan Reaksi "Kalem" Indonesia
- Ketika tentara Indonesia-China unjuk bela diri mil...
- PT PAL Serahkan Kapal Tunda Pesanan TNI AL
- Skadron Udara I Latihan Dengan Bom Maverick
- Pesawat Latih Anyar TNI AU Alami Masalah
- Kontingen Petembak TNI AD Juara Umum Lomba Se-ASEAN
- KRI Tanjung Nusanive-973 Angkut Yonarmed-9 Kostrad
- Kado Akhir Tahun Untuk Pengawal Republik
- 60 Tahun, Pesawat Hercules C-130 Mengabdi Bangsa
- Len Kembangkan WECDIS dan Integrated Navigation & ...
- Tiga Kapal Nakhoda Ragam Class Tiba 2014
- TNI AD Akan Mendapatkan 1 Batalion Meriam Tarik KH...
- KSAL Sampaikan Rencana Tambahan Alutsista dan Peme...
- TNI AD Inginkan 24 Helikopter Blackhawk
-
▼
Desember
(206)
Senin, 30 Desember 2013
Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Wikipedia
Hasil penelusuran
0 komentar:
Posting Komentar