Select Language

Senin, 30 Desember 2013

Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur?

Beberapa dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta, tahun 2012 mengisyaratkan, bakal ada geopolitical shift atau pergeseran geopolitik ---dalam konflik global--- dari Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara) menuju Asia Pasifik, bahkan “titik sentral”-nya, atau lokasi konflik pun telah ditandai oleh GFI berada di Laut Cina Selatan. Dan tampaknya, proses dimaksud kini sedang berlangsung.

Selanjutnya alasan pokok kenapa pergeseran terjadi, tak sedikit diulas oleh para penulis di website www.theglobal-review.com dan beberapa buku terbitan GFI, terutama Journal Kedua yang bertajuk: “Merobek Jalur Sutera Menerkam Asia Tenggara” (2 Januari 2013). Penulis tak ingin mengulang-ulang bahasan kecuali sekilas untuk menyambung paragraf saja. Catatan ini hanya memotret fenomena sehubungan perubahan “titik sentral”-nya secara fokus. Dengan kata lain, mencoba mengurai (breakdown) anatomi “ruh”, ataupun penyebab utama kenapa sentral (pemicu) geopolitical shift seolah-olah berpindah ke Laut Cina Timur, lepas dari prakiraan GFI sebelumnya. Inilah ulasannya.

Dalam perspektif asymmetric warfare (peperangan asimetris), pergeseran geopolitik akan membawa konsekuensi logis pada perubahan unsur, elemen maupun tahapan suprastruktur politik (pendukung)-nya. Maksud unsur atau tahap suprastruktur disini ialah isue, tema dan skema. Pada tataran isue (permulaan) misalnya, pola kolonial di Laut Cina sekarang tak lagi menyoal kepemimpinan tirani, bukan pula perihal isue genocida, atau korupsi, tidak juga soal demokratisasi, atau isue nuklir, dan lain-lain. Isuenya kini tunggal, yakni “sengketa perbatasan”. Itulah yang saat ini tumbuh semarak di Laut Cina.

Masih dalam koridor asimetris, lazimnya “tema” kolonial yang bakal diletuskan pasca isue ditebar ialah konflik terbuka, baik bersifat intrastate (konflik internal dalam negara) maupun interstate (konflik antar negara). Ini pola berulang, kecuali isue dimaksud terkontra sendiri, atau dikontra secara langsung oleh pihak-pihak ter-“target” dan yang ditarget. Sedangkan “skema” penjajahan sebagaimana kerapkali saya katakan di berbagai tulisan, hampir-hampir tak pernah berubah sepanjang zaman, yaitu penguasaan ekonomi serta pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di negeri koloni.

Sering keduanya, baik penguasaan ekonomi maupun pencaplokan SDA berjalan simultan dengan intensitas berbeda, atau acapkali justru “satu tarikan nafas” (serentak) pada sebuah kolonisasi melalui pintu tata ulang kekuasaan ---ganti ‘boneka’--- semacam tata ulang (Arab Spring) yang sedang berproses namun out of control di Jalur Sutera (Silahkan baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung, di www.theglobal-review.com), dan lainnya.

Dokumen Project for the New American Century and Its Implication, 2004 (PNAC)-nya Pentagon, jelas menyiratkan, bahwa salah satu “misi” Paman Sam ---jika tidak boleh disebut tujuan--- ialah membendung gerak laju Cina. Tak bisa dielak. Penyerbuan NATO dkk ke Mali dan invasi militernya ke beberapa negara (kecil) Afrika berdalih terorisme, radikalisme Islam, dll adalah potret aktual terkait upaya-upaya Barat membendung pengaruh Cina di Afrika. Pertanyaanya sederhana: apakah Mali akan diserbu NATO bila ia cuma penghasil singkong belaka? Maka pemahaman what lies beneath the surface dan kajian strategis Deep Stoat if you would understand world geopolitic today, follow the oil barangkali merupakan jawaban atas (setiap) agresi militer Barat ke berbagai negara. Minyak, emas dan gas bumi. Ini cuma gambaran selintas, betapa banyak contoh-contoh lainnya.

Kenapa Laut Cina Selatan

Kunci daripada isue-isue sengketa perbatasan di Laut Cina Selatan sesungguhnya berada di dua kepulauan, yaitu Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Inilah pemetaan konflik (saling klaim) atas beberapa negara di sekitar kepulauan dimaksud: (1) Kepulauan Spratly. Ya, selain menyimpan konflik antara Cina versus beberapa negara seperti Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam, Brunai Darussalam, dll bahkan di antara sesama anggota ASEAN sendiri terdapat endapan sengketa atas Spratly, saling mengklaim kepemilikan. Itulah fakta-fakta yang nyata; yang ke (2) Kepulauan Paracel. Dalam konteks ini, sengketa Paracel melibatkan Cina, Vietnam serta Taiwan. Dan Cina pun, masih berseteru dengan Philipina terkait Karang Scarborough, yang sempat memanas dekade 2012-an lalu.

Dari mapping sengketa, konflik Kepulauan Spratly mungkin paling menarik, karena melibatkan sejumlah negara Asia Tenggara seperti diurai sekilas di atas. Kenapa ia diperebutkan oleh banyak negara, memang ada takdir leverage atas geopolitik dan geo-posisi daripadanya. Artinya, selain letaknya strategis di jalur perairan internasional, juga paling utama potensi SDA berupa minyak dan gas alam yang melimpah di Kepulauan tersebut. Aspek geostrategi sudah jelas, barangsiapa menguasai Spratly maka identik mengendalikan jalur pelayaran bagi kapal-kapal yang hilir mudik antara Lautan Pasifik - Lautan Hindia. Itulah geopolitical leverage yang diperebutkan para adidaya dunia. Apa boleh buat. “Nasib”-nya mirip Syria, meski ia tak sekaya minyak seperti Libya, Irak, Iran, dll tetapi Syria toh diperebutkan para adidaya Timur dan Barat karena faktor geopolitic of pipeline dan geostrategy position di Jalur Sutera (Baca: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria, di www.theglobal-review).

Prakiraan kandungan minyak di Spartly sekitar 10 milyar ton (International Herald Tribune, 3 Juni 1995), namun The Geology and Mineral Resources Ministry of the People’s Republic of China memperkirakan kandungannya 17,7 miliar ton. Masih simpang siur, tetapi jika merujuk lembaga geologi Cina tadi, data-data ini menempatkan Spratly sebagai kawasan dengan cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Luar biasa. Sudah barang tentu, dari perspektif hegemoni yang kini tengah dirajut oleh Negeri Tirai Bambu, menguasi kepulauan tersebut identik mengurangi ketergantungan impor minyak baik dari Kawasan Afrika, Timur Tengah, maupun Asia Tengah, dan lain-lain.

Lain Spratly lain pula leverage Kepulauan Paracel. Bagi Tirai Bambu, selain dalam konflik hanya berhadapan dengan Vietnam dan Taiwan ---ex provinsinya---, urgensi Cina terhadap kepulauan tersebut tidak kalah penting dibanding Spratly. Oleh karena dari sisi geostrategi, menguasai Kepulauan Paracel bisa mengawasi gerak navigasi di bagian utara Laut Cina Selatan, kendati dari sisi SDA, hanya gundukan batu karang. Akan tetapi kuat disinyalir, Paracel juga memiliki kandungan minyak dan potensi gas alam yang besar, meski belum didukung data-data secara resmi.

Secara geopolitik, menguasai dua kepulauan dimaksud, otomatis mengendalikan perairan internasional, menguasai kekayaan (potensi) SDA-nya, juga dapat dijadikan “batu loncatan” jika kelak berhasrat menyerang Daratan Asia. Untuk leverageterakhir, mungkin baru sebatas dugaan extreem penulis. Abaikan!



(Bersambung Bag-2)

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner