Ilustrasi Salah Satu Stasiun NSA (wartanews.com) |
Dalam posisi pernah melaksanakan tugas di Kedutaan Besar RI, di kantor Athan, penulis faham sekali apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Pada saat mengikuti pendidikan untuk persiapan penugasan di kantor Athan, beberapa guru yang mengajar di sekolah Intelstrat menekankan selalu menjaga kewaspadaan, dan betapa berbahayanya ulah spionase dari negara asing, baik dari sisi pembinaan agen pembelot ataupun spionase teknologi.
Kini kita lihat adanya statement baik pejabat maupun mantan pejabat di media, ada yang mengatakan penyadapan hal biasa. Menganggap hal tersebut tidak membahayakan negara karena menurutnya negara tidak memiliki rahasia yang disembunyikan. Yang bersangkutan mengatakan bukan cuma Indonesia yang disadap. Mereka menyadap ke negara-negara yang ada kepentingan dengan mereka. Dikatakan hal yang wajar. Apabila dikaitkan dengan nasib kedaulatan Republik Indonesia jika negara lain dapat seenaknya melakukan penyadapan, katanya hal yang biasa saja. Nampaknya ucapannya untuk menunjukkan bahwa lembaga kita tidak lemah, jadi penyadapan biasa-biasa saja. Pendapat ini jelas memprihatinkan.
Penulis setuju dengan pendapat mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Pur) Endriartono Sutarto. dikatakannya, "Etika diplomasi internasional tidak membolehkan suatu negara melakukan penyadapan terhadap negara yang lain. Apalagi itu dilakukan oleh kalangan diplomatik," kata Endriartono di Wisma Kodel, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2013). Menurut Endriartono, merupakan hal yang wajar jika suatu negara berkeinginan untuk mendapat informasi dari negara lain. Namun jika pengambilan data atau informasi itu melalui penyadapan, itu yang tidak diperbolehkan. "Seorang atase pertahanan punya tugas untuk collecting data di negara, tapi harus dilakukan terbuka. Artinya dia mendapatkan informasi dari pemberitaan koran, pembicaraan. Tapi tidak boleh lakukan penyadapan, misalnya telepon orang dari pejabat itu," kata mantan Panglima TNI yang mengikuti konvensi Partai Demokrat itu.
Terkait dengan berita penyadapan, yang paling tersentuh kredibilitasnya adalah tiga lembaga yaitu Kementerian Luar Negeri, BIN dan Lembaca Sandi Negara. Ketiga lembaga tersebut juga tidak secara pasti menyatakan kita di sadap. Penyadap jelas menggunakan teknologi terapan yang sangat maju. Dengan black budget sekitar 52,8 milyar dollar pada tahun fiskal 2013, jelas NSA mampu mewujudkan pulbaket secara klandestin bersama Australia dari stasiun pengintainya di Jakarta.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyebut tingkat kepercayaan Indonesia kepada Amerika Serikat dan Australia pasca diberitakan dugaan penyadapan mulai terganggu. Marty mengatakan agar Indonesia waspada dan tetap hati-hati. "Masalahnya ini adalah tingkat kepercayaan kita terhadap dua negara tadi sangat terganggu," ujar Menlu Marty di Kementerian Luar Negeri, Jl Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin (4/11/2013). Menlu menyerahkan kepada BIN tentang kebenaran penyadapan itu.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) telah memanggil intelijen AS di Indonesia sebagai counterpart, terkait isu penyadapan pejabat. Dikatakannya, "Mereka sedang konsultasi dengan pimpinan," kata Kepala BIN Marciano Norman yang ikut rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Bali Democracy Forum VI di Bali Nusa Dua Convention Center, Kamis (7/11/2013). BIN masih menunggu konfirmasi dari pihak AS. Langkah lain, ia berkomunikasi langsung dengan pimpinan intelijen. Dalam waktu dekat diharapkan akan ada kejelasan. Kata Marciano, "Pesan sudah kita kirimkan. Bahwa penyadapan bisa menganggu hubungan. Kita masih menunggu klarifikasi," katanya kepada media.
Kepala Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), Mayjen TNI Djoko Setiadi mengatakan, kita mempunyai persandian untuk menjaga dan mengamankan semua data informasi rahasia negara. Namun saat ini, baru 60 persen instansi pemerintah Indonesia yang tercover jaringan sandi. Sebagian besar masih berada di pulau Jawa. "Kalau masalah disadap, pada masa sekarang ini, tidak ada satupun alat yang tidak bisa disadap. Seluruh peralatan yang menggunakan gelombang elektromagnetik pasti bisa disadap. Di sinilah fungsi adanya sandi kita enkripsi. Silakan disadap, tapi mereka tidak bisa membacanya," kata Djoko Setiadi pada Raker Persandian Nasional di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, Rabu (30/10/2013).
Enkripsi merupakan proses mengamankan suatu informasi dengan membuat informasi tersebut tidak dapat dibaca tanpa bantuan pengetahuan khusus. Data yang di-enkripsi kemudian diproses lagi agar lebih aman, sehingga terdapat pengamanan ganda. Dengan cara itu, Lemsaneg memastikan tidak ada kebocoran sandi negara sampai detik ini.
Demikian perkembangan terkait dengan informasi penyadapan yang dilansir Sydney Morning Herald yang bersumber dari Edward Snowden yang kini bermukim di Rusia. Memang hingga kini belum ada yang mampu membuktikan negara, pejabat dan bangsa Indonesia disadap. Sulit membuktikan secara material dan faktual terjadinya penyadapan. Beberapa yang menyatakan penyadapan hal biasa semestinya tidak usah berbicara, mengecilkan arti penyadapan bukanlah langkah cerdas di era demokrasi, semua kini sangat transparan.
Tidak perlu membela diri secara berlebihan, toh Amerika Serikat sudah mampu terbang sampai di bulan, sedang kita baru pada tingkat membeli alutsista dari mereka, mobil murahpun yang membuat bukan asli kita. Yang penting kini, waspada, hati-hati, kebocoran jelas sudah terjadi. Penulis meyakini semua isi perut komunikasi mulai dari kepala negara serta pejabat negara dan tokoh penting lainnya sudah ditangan mereka. Kalau mereka membocorkan rahasia pejabat kita bagaimana? Ini yang perlu dipikirkan. Tidak terbayangkan kisruhnya kita menjelang pemilu 2014.
Jadi kesimpulannya, penyadapan bukan hal yang biasa-biasa saja, sangat luar biasa dan sangat berbahaya. Banyak pejabat yang tidak faham dengan pengamanan HP dan internetnya misalnya. Kini, dibutuhkan peningkatan kesadaran sekuriti meluas dalam waktu cepat, mungkin sementara ini solusinya..
Oleh : Prayitno Ramelan
0 komentar:
Posting Komentar