Select Language

Jumat, 28 Januari 2011

Pedal Gas Toyota dan Reputasi Teknologi Jepang

Sebagai kampiun teknologi—khususnya manufakturing—otomotif, selama ini posisi Jepang amatlah kokoh. Ada produsen lain di Amerika dan Eropa yang bisa membuat mobil lebih bagus daripada Jepang, tetapi produk Jepang tetap dominan di dunia. Tak heran bila Toyota Motor Corp lalu menjadi pembuat mobil nomor satu di dunia.

Selain produknya laris, pelbagai gaya manajemen dan produksi Toyota lalu banyak jadi acuan. Pada 2001 muncul buku Toyota Way yang memuat 14 prinsip tentang nilai dan perilaku yang harus diikuti karyawan. Dengan itu, apa yang dituturkan dalam sejumlah buku tentang kisah keberhasilan industri Jepang, seperti karya Carl Mosk (Japanese Industrial History: Technology, Urbanization, and Economic Growth, 2001) seolah dikuatkan. Jepang mencapai supremasi.

Ketika mengunjungi pabrik Boeing yang legendaris di Everett, Seattle, tahun silam dan melihat betapa efisiennya pembuatan pesawat yang merajai aeronautika dunia dewasa ini, mulai dari 737 Next Generation, 777, dan 747, pemandu Boeing tak malu-malu mengatakan, proses itu mereka ikuti (dengan lisensi) dari Toyota.

Jepang berhasil berkembang menjadi raksasa industri setelah membangun dari pada abad ke-17 hingga abad ke-20. Banyak dari kita yang masih ingat sejarah, bagaimana Komodor Perry dan satu armada AS pada 1856 membuka Jepang dan mengeksposnya pada kebudayaan dan teknologi Barat. Setelah itulah benih-benih keunggulan teknologi Jepang mulai bersemi, melahirkan modernisasi cepat. Keberhasilan Jepang mengalahkan Rusia dalam perang 1905 tak bisa dilepaskan dari rentetan kemajuan itu.

Namun, kali ini fokus kita arahkan pada kejadian mutakhir, mengapa Toyota yang menjadi raksasa otomotif dunia membuat headline di sejumlah media dunia. Itu tidak lain karena Toyota belum lama ini menarik sekitar 8,1 juta mobil merek populer (The Wall Street Journal, 9/2/2010). Terakhir, ada kabar pabrikan ini berencana menarik hampir 300.000 mobil hibrida (bensin elektrik) Prius yang digemari itu (AFP, Yahoo, 8/2/2010).

Alasan penarikan itu adalah adanya keluhan pengguna, yaitu pedal gas acap macet, membuat mobil seperti melaju sendiri tanpa bisa dikontrol pengemudi. Karena terkait langsung dengan keselamatan berkendara, tak terelakkan lagi ini menjadi isu besar, yang tidak saja menampar langsung Toyota, tetapi juga Jepang.

Dari segi Toyota, hal itu amatlah berat karena merek Toyota—seperti disebut Jeff Kingston (TWSJ, 8/2)—sinonim dengan kualitas dan keandalan. Toyota sekarang ini pun sudah membayar mahal kerugian karena menarik produk bernilai 2 miliar dollar AS, dan sejak penarikan diumumkan pada 21 Januari, nilai sahamnya sudah merosot 17 persen. Esok, harga yang harus dibayar masih akan lebih mahal.

”Soul-searching”

Bagi bangsa yang sebenarnya begitu terobsesi dengan kualitas dan keterampilan teknik (craftmanship), apa yang terjadi dengan pedal gas Toyota jelas amat menimbulkan rasa malu yang luar biasa. Dalam kaitan ini, kasus pedal gas bahkan kemudian membuat banyak pihak di Jepang merenung mencari apa yang salah dari sisi kultur dan kejiwaan (soul-searching).

Maklum saja, kasus ini tidak saja lalu menjadi bahan olok-olok, tetapi juga kecaman pedas. Sambil menyinggung buku Toyota Way, penulis seperti Katrina Ramser (Asylum.com, 8/2/2010) menyebut, tampaknya ada orang di pabrik Toyota yang ruwet mencampurkan konsep ”muda” dan ”kaizen” (Judul tulisannya saja sudah tajam, Recalls Make Fabled ”Toyota Way” Look Way Gone-Penarikan Membuat ”Cara Toyota” yang Banyak Didongengkan Itu Tampak Ketinggalan Zaman).

Menurut ajaran, karyawan harus menemukan tujuan dalam apa pun yang dikerjakan. Ajaran ”muda” menyebut ”jangan menghamburkan banyak (waktu) untuk melakukan sesuatu. Lalu, ajaran ”kaizen” menyebut, ”Kalau Anda tidak mengerjakannya dengan benar, bekerja keraslah untuk memperbaikinya.” Apa Toyota berubah jadi pabrik yang tergesa-gesa dan, pada sisi lain, kurang kerja keras untuk memperbaiki yang keliru?

Kalau ajaran sudah begitu banyak dan jelas, mengapa masih terjadi kesalahan? ”Tajuk Rencana” harian Asahi Shimbun (seperti diringkaskan oleh International Herald Tribune, 9/2/2010, yang dikutip di awal tulisan ini) menyebutkan, salah satu faktor yang ada di balik kesulitan Toyota sekarang ini adalah globalisasi perusahaan yang terlampau cepat, yang lalu berdampak pada kualitas produk. Komponen pedal gas yang jadi masalah sendiri sebenarnya dipasok oleh pembuat Amerika. Tampaknya, Toyota gagal memastikan, produk pemasok tadi bebas dari kesalahan desain dan problem kualitas.

Yang dikritik adalah cara Toyota menangani krisis penarikan produk cacat ini menyiratkan adanya sikap percaya berlebih dan puas diri karena telah menyalip GM sebagai produsen mobil nomor satu dunia.

Memetik pelajaran

Dewasa ini dunia otomotif selain masuk dalam persaingan yang sengit, juga tak lepas dari isu lingkungan. Sebagaimana penerbangan, otomotif hijau juga menjadi tema hangat di kalangan produsen.

Ketika membahas tentang krisis otomotif Amerika, salah satu yang membuat produsen Amerika kedodoran adalah terlambat merespons perubahan zaman, di mana konsumen lebih menyukai mobil berukuran lebih kecil, lebih hemat bahan bakar, dan berorientasi pada bahan bakar terbarukan, bukan lagi fosil. Di sinilah produsen Jepang dipandang lebih sigap dan unggul. Toyota Prius adalah salah satu buktinya. Mobil hibrida dan mobil elektrik tak diragukan lagi akan menjadi kendaraan masa depan.

Namun, ketika semua produsen mulai melakukan langkah sama dalam kerangka otomotif hijau, hanya produsen yang lebih unggul dalam aspek keselamatanlah yang tentunya akan dipilih konsumen.

Sebelum ini, dunia telah menikmati sejumlah karya inovasi teknologi Jepang, mulai dari mobil, walkman, hingga kamera digital. Sony, Panasonic, Nikon, dan masih banyak lagi telah membangun reputasi teknologi Jepang dan sekaligus menjadikannya sebagai ekonomi nomor dua di dunia.

Insiden pedal gas Toyota telah mengguncangkan reputasi itu. Pekerjaan rumah Jepang sekarang pastilah memulihkan reputasi karena tanpa itu, gelombang perubahan dipastikan akan meminggirkannya. Seperti disinggung tajuk Asahi Shimbun, abad ke-21 akan melalui turbulensi ketika perubahan dalam struktur pasar dan inovasi teknologi transformatif berlangsung secara serentak.

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner