VIVAnews – Hubungan Indonesia dan Australia yang mendidih mulai didinginkan dengan pertemuan kedua kepala negara. Untuk pertama kalinya, sejak ketegangan terjadi antara kedua negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Perdana Menteri Tony Abbott.
Pertemuan tersebut digelar di Batam, Rabu 4 Juni 2014. Awalnya, kedua kepala negara akan bertemu di Bali bulan lalu. Namun, Abbott batal datang. Akhirnya, pertemuan keduanya dijadwal ulang di Batam, sebagai pembuka kunjungan kenegaraan 10 hari Abbott ke Eropa dan Amerika.
Saat membatalkan pertemuan di Bali, Abbott beralasan karena tengah menggodok anggaran negara. Namun, media Australia mengatakan Abbott hanya cari-cari alasan, setelah Australia dipermalukan karena ketahuan mendorong kembali kapal pencari suaka ke Indonesia.
Abbott menyambangi Batam, karena menyesuaikan dengan jadwal Presiden SBY yang akan membuka MTQ di sana. Sempat ada bocoran percakapan antara SBY dan Abbott yang berhasil direkam wartawan mengenai pertemuan ini.
Abbott telat dua jam, karena pesawatnya mengalami masalah teknis. Akhirnya, digunakan pesawat cadangan.
Pertemuan yang berlangsung singkat tersebut, membahas upaya perbaikan hubungan diplomatik kedua negara.
Indonesia-Australia bersitegang, setelah muncul bocoran dokumen yang menyatakan bahwa Negeri Kangguru menyadap percakapan telepon dan email beberapa petinggi negara, termasuk Presiden SBY dan istrinya Ani Yudhoyono.
Presiden SBY mengatakan bahwa pertemuan itu sangat produktif dan konstruktif. Dalam pernyataan bersama usai pertemuan, dikutip Reuters, SBY mengatakan Australia-Indonesia mendiskusikan metode untuk melindungi dan meningkatkan kemitraan kedua negara yang didasarkan rasa saling menghargai.
“Kedua menteri luar negeri terus berdiskusi membahas kode tata kelakuan baik (Code of Conduct/CoC) di masa mendatang, sehingga proses meningkatkan kerja sama bisa diimplementasikan dengan baik,” kata SBY.
“Apa yang kita lakukan untuk menyelesaikan masalah ini akan memberikan keuntungan besar, karena kedua negara ingin melanjutkan persahabatan,” lanjut SBY.
Dalam porsinya, Abbott mengatakan bahwa kedua negara mengatakan penyelundupan manusia “tidak akan menjadi masalah lagi bagi hubungan Indonesia-Australia”.
Selain itu, ia menyatakan bahwa kedua negara akan kembali melanjutkan kerja sama berbagi informasi intelijen.
Abbott, bahkan tidak lupa memuji SBY yang sebentar lagi akan habis masa kepemimpinannya. Menurutnya, pemerintahan SBY ditandai dengan perdamaian dengan banyak negara dan kemakmuran di dalam negeri.
“Indonesia akan kehilangan seorang negarawan dan Australia akan kehilangan seorang sahabat,” kata Abbott.
Perlakukan Indonesia dengan HormatThe Guardian, Selasa 3 Juni 2014, mengutip Abbott yang mengatakan bahwa pertemuan di Batam, Rabu, akan menjadi upaya untuk memastikan bahwa hubungan Australia-Indonesia mempunyai pijakan yang kuat.
Abbott juga mengatakan akan menjamin pada SBY bahwa Australia ke depannya memperlakukan Indonesia dengan rasa hormat.
Sebelumnya, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizsyah, kepada VIVAnewsmengatakan bahwa pertemuan ini adalah bagian membangun kembali rasa percaya Indonesia pada Australia.
Menurutnya, hubungan kedua negara kini sudah mulai membaik, ditandai bertugasnya kembali Dubes RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema.
Diketahui, bocoran dokumen penyadapan membuat terganggunya hubungan kedua negara. Indonesia menarik Duta Besar untuk Australia dan menghentikan beberapa kerja sama, termasuk kemitraan dalam penanganan pencari suaka.
Indonesia menetapkan enam langkah untuk perbaikan hubungan kedua negara. Puncaknya adalah penetapan COC yang mengatur larangan menyadap.
Kendati diberikan langkah tegas, namun Australia di bawah pemerintahan Abbott tidak gentar, bahkan membandel. Selama proses perbaikan hubungan, Australia mendorong kembali perahu pencari suaka ke Australia kembali ke Indonesia.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan bahwa membaiknya hubungan kedua negara tergantung dari ketulusan Australia. Menurut dia, Australia yang mulai memantik api. “Saya kira, bola berada di pihak Austraia untuk menjelaskan masalah penyadapan dan masalah pencari suaka,” ujar Marty, Senin lalu.
Natalegawa telah beberapa kali bertemu dengan koleganya dari Australia, Julie Bishop untuk membicarakan COC. Menurut Marty kepada The Guardian, Bishop mengatakan padanya bahwa Australia “tidak akan menggunakan sumber daya intelijennya untuk merendahkan sahabat dan tetangga, termasuk Indonesia.”
Selain Presiden SBY dan istrinya, Australia juga menyadap percakapan delapan pejabat RI lainnya. Di antaranya adalah Wakil Presiden Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan Juru Bicara Kepresidenan Bidang Luar Negeri Dino Patti Djalal yang kini menjadi Duta Besar RI untuk AS, mantan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, mantan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa yang kini menjabat Menteri Koordinator Perekonomian, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati yang kini menjabat Direktur Bank Dunia, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Widodo AS, dan mantan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil.
Bocoran diberikan oleh Edward J. Snowden, mantan staf badan intelijen AS, NSA, yang kini mendapat suaka di Rusia kepada beberapa kantor berita, termasuk The Guardian, ABC, dan The Sydney Morning Herald. Dalam dokumen tersebut juga disebutkan bahwa intel Australia membangun pos penyadapan dengan kode ‘Stateroom’ di dalam gedung Kedutaan Besar Australia di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Harian Jerman Der Spiegel, bahkan menyebut Jakarta menjadi pusat spionase Australia di Asia. Jakarta, dipilih karena pertumbuhan pesat jaringan telepon seluler di Indonesia. Namun, dalam publikasi itu belum disebut siapa-siapa saja pejabat RI yang menjadi target penyadapan. Baru awal pekan ini nama SBY dan para petinggi RI terang-terangan disebut disadap.
Selain menyadap para petinggi RI, Australia juga menyadap komunikasi sengketa dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat, sekutu wahid Negeri Kangguru.
Abbott awalnya menolak meminta maaf, karena menurut dia itu adalah “penyadapan yang wajar”. Abbott hanya “menyesalkan” pemberitaan yang membuat Presiden dan rakyat Indonesia malu. Dalam pidatonya di parlemen, Abbott berkomitmen akan memperbaiki hubungan dengan Indonesia.
Sikap Abbott ini selain dikecam pemerintah Indonesia, juga dihujat oleh para oposisi di dalam negeri Australia sendiri.
Australia tak tahu apa-apa soal IndonesiaIndonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara adalah mitra potensial Australia. Bahkan, menurut situs Kementerian Luar Negeri Australia, Indonesia diramalkan akan menjadi salah satu dari tujuh negara ekonomi terbesar dunia pada 2030.
Indonesia adalah mitra dagang terbesar ke-12 Australia dengan nilai kerja sama pada 2012 mencapai US$14,6 miliar. Di bidang agrikultur, Indonesia adalah pasar terbesar ketiga Australia dengan nilai dagang US$2,3 miliar pada 2012.
Diprediksi, hubungan ekonomi kedua negara akan berkembang pesat di masa depan. Prediksi ini bisa jadi kenyataan, jika saja tidak ada kasus penyadapan dan respon Abbott yang buruk.
“Mereka adalah mitra dagang yang besar, tetapi banyak warga Australia tidak sadar bagaimana perdagangan, pekerjaan, dan ekonomi akan terancam jika hubungan dengan Indonesia goyang,” kata Tim Harcourt, ahli ekonomi dari University of New South Wales, seperti diberitakan The Sydney Morning Herald, November tahun lalu.
Berlarutnya ketegangan ini, menurut Dr Jacqueline Baker, dosen dan ahli politik Indonesia di Fakultas Asia dan Pasifik di Australian National University adalah karena pemerintah Australia tidak tahu banyak soal perpolitikan di Indonesia.
Dalam tulisannya di The Age, Selasa 3 Juni 2014, Baker mengatakan sejak reformasi 1998, demokrasi Indonesia berkembang pesat. Saking pesatnya, tidak bisa dikejar oleh pengetahuan Australia yang sangat minim soal negara itu.
“Dengan demokratisasi di Indonesia, landasan politik menjadi jauh lebih rumit dan Australia tidak punya kemampuan politik. Apalagi, panduan untuk mengantisipasinya,” kata Baker.
Menurut Baker, Australia tidak mampu menghadapi kompleksitas demokrasi yang beragam di Indonesia. Ada dua masalah utama dalam hal ini, lanjutnya. Pertama adalah masih sedikitnya ahli soal Indonesia di Australia.Kedua, pekerjaan untuk para ahli Indonesia hanya ada di pemerintahan. Akibatnya, kemitraan dengan Indonesia tidak maksimal.
“Pemerintahan 10 tahun Yudhoyono akan berakhir. Hubungan bilateral akan berubah. Beberapa orang mengatakan akan semakin berat. Pertanyaannya adalah, apakah kita punya kemampuan untuk mengelolanya,” jelas Baker. (asp) (© VIVA.co.id)
0 komentar:
Posting Komentar