"Hanya bisa melihat saja; jejak-jejak pesawat (contrail-condensation trail) yang melintas; Natuna; tanah airnya Indonesia, langitnya Singapura"
SINDO-(IDB) : Penggalan kalimat itu bertengger di sebuah situs jejaring sosial. Pengetiknya adalah seorang pegawai muda di menara pengawas di sebuah bandara sepi di ujung utara Indonesia. Dia—berstatus pegawai negeri dan memilih anonymous—galau melihat pesawat-pesawat asing seliweran di atas sana. Tak satu pun yang pernah meminta tabik meski langit yang mereka belah milik Republik Indonesia. Tapi dia masih menyimpan sedikit harap. Mengetik lagi, dia menulis: "Semoga Menteri BUMN, Dahlan Iskan, bisa segera mewujudkan Air Traffic Services single provider dan mengambil alih Flight Information Region dari cengkeraman Singapura".
Itu Juni 2012. Kala itu di Jakarta, Dahlan baru saja menelurkan ide pembentukan sebuah perusahaan umum (perum) penyelenggara satu-satunya pelayanan navigasi udara. Menyalakan sungut nasionalisme orang banyak, Dahlan bilang lembaga hadir dengan misi utama mengembalikan kedaulatan udara Indonesia. Kedaulatan? Ya, kata Dahlan, Indonesia belum sepenuhnya berdaulat di udara. Kawasan udara di seputaran Kepulauan Riau masih dalam cengkeraman Singapura, katanya. "Bukan salah tetangga, dulu kita sendiri yang menyerahkan ke mereka karena kita belum mampu," katanya seraya menjanjikan segera kelarnya peraturan presiden terkait pembentukan lembaga.
Dahlan merujuk pada sebuah fakta getir. Pada 1946, Singapura mendapat mandat dari International Civil Aviation Organization (ICAO), organisasi penerbangan sipil dunia, untuk mengontrol wilayah udara di seputaran Kepri. Kuasa yang dikenal dengan Flight Information Region (FIR) itu dilatari pertimbangan Singapura lebih mumpuni dalam soal radar dan alat pantau penerbangan.
Sejak itulah, semua lalu lintas penerbangan lokal dan internasional di atas Kepri harus mendapat izin dari menara kontrol di Singapura. Bahkan pesawat militer Indonesia harus tabik dan melapor ke kontrol udara di Changi jika ingin terbang di atas Kepri. Sementara itu, pelbagai upaya menarik kuasa dari Singapura selalu gagal di meja perundingan. Pada 1995, Jakarta justru menekan kontrak penyerahan 15 tahun hak pengelolaan wilayah udara Kepri ke Singapura. Dalam kontrak yang tak pernah diperbarui lagi itu, Jakarta hanya mensyaratkan Singapura mengutip ongkos melintas yang 'kompetitif' ke setiap pesawat komersil yang melintas di atas Kepri. Berapa keuntungan Singapura dari menguasai wilayah udara Kepri dalam lima dekade sebelumnya tak pernah diketahui.
Balik ke soal perusahaan penyelenggara jasa navigasi. Harapan perubahan datang medio September silam. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken beleid pembentukan Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia. Diundangkan per 13 September, beleid mengatur pelbagai urusan terkait kelahiran lembaga, berikut esensi tugasnya.
Dalam salinan beleid yang diperoleh SINDO Weekly awal pekan ini, lembaga disebutkan hadir untuk menjadi pengampu tunggal semua urusan navigasi penerbangan. Dalam tempo satu tahun, misalnya, lembaga bakal mengambil alih pelayanan navigasi dari PT Angkasa Pura I (AP I) dan PT Angkasa Pura II (AP II); dua perusahaan pelat merah di bidang penerbangan dan jasa kebandaraan. Berbentuk Badan Usaha Milik Negara, lembaga disebutkan tidak untuk mengejar keuntungan. "Amanat undang-undang, navigasi penerbangan merupakan kewajiban negara," kata juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan. "Ini seperti pengamanan lalu lintas jalan raya, kewajiban negara yang diserahkan ke polisi lalu lintas."
Bagian lain dari beleid mengatur detil teknis. Disebutkan, lembaga bakal menempati sebuah bangunan raksasa di atas lahan tujuh hektare lebih di Tangerang, juga bakal diisi oleh pegawai navigasi penerbangan dari AP I dan AP 2. Dengan transfer itu, kedua perusahaan bakal fokus pada bisnis jasa kebandaraan. Lembaga baru, menurut Mulya Abdi, petinggi Angkasa Pura 2, juga mengemban amanat untuk mengambil alih kewenangan pelayanan navigasi penerbangan dari bandara di luar kuasa AP I dan AP 2 (kedua perusahaan menguasai 26 bandara dari total 204 bandara domestik). "Waktunya dua tahun," kata Mulya.
Tetap Tergadai
Nah, bagaimana dengan soal kendali udara di Singapura? Dalam 60 pasal beleid, tak ada satu pun yang secara khusus menyoal kiprah lembaga dalam pengembalian kendali lalu lintas udara dari Singapura. Juru bicara Kementerian Perhubungan bilang soal FIR Singapura perlu jalur lain. "Kami akan perjuangkan di forum ICAO," kata Bambang. "Toh, itu sudah tugas undang-undang."
Pertemuan rutin Navigasi Udara Regional (Regional Air Navigation/RAN) rencananya digelar di Thailand pada 2013. Sementara itu, Pasal 458 UU No.1/2009 tentang Penerbangan mewajibkan pemerintah mengambil alih pelayanan navigasi yang didelegasikan ke negara lain paling lambat Januari 2024.
Seorang sumber di birokrasi bilang, ada 'logika tersendiri' di balik pendelegasian wilayah udara Indonesia ke Singapura. Prinsipnya, katanya, semata memudahkan pelayanan bagi pilot. "Kita bukan tak mampu mengelola, melainkan sekadar memudahkan komunikasi penerbangan," katanya. Dia bercerita kalau wilayah udara Singapura yang sempit membuat pilot harus segera berganti frekuensi tiap kali memasuki wilayah udara Indonesia.
Tapi logika ini sulit diterima. FIR menjadikan Singapura praktis punya wilayah yang jauh lebih besar dari fisik negara yang tak seberapa. FIR Singapura mencakup setiap inci Kepulauan Riau, menggergaji sebagian daratan Sumatera, mengikat Selat Karimata, mencium pantai Pontianak, merambah Singkawang, lalu jauh ke utara hingga Natuna dan Laut Cina Selatan.
Setahun mendatang, Indonesia bakal punya Perusahaan Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan. Sayang, lembaga ini tak diberi mandat kuat untuk mengambil alih kendali lalu lintas udara di seputaran Kepulauan Riau dari tangan Singapura.
Penerbangan Indonesia dalam Angka
29 Bandara Internasional
204 Bandara Domestik
20 Maskapai penerbangan terjadwal
43 Maskapai penerbangan charter
879 Armada pesawat
227 Rute penerbangan yang menghubungkan 107 kota.
Penumpang Pesawat:
2009: 44 juta orang.
2010: 52 juta orang.
2011: 60 Juta orang
Itu Juni 2012. Kala itu di Jakarta, Dahlan baru saja menelurkan ide pembentukan sebuah perusahaan umum (perum) penyelenggara satu-satunya pelayanan navigasi udara. Menyalakan sungut nasionalisme orang banyak, Dahlan bilang lembaga hadir dengan misi utama mengembalikan kedaulatan udara Indonesia. Kedaulatan? Ya, kata Dahlan, Indonesia belum sepenuhnya berdaulat di udara. Kawasan udara di seputaran Kepulauan Riau masih dalam cengkeraman Singapura, katanya. "Bukan salah tetangga, dulu kita sendiri yang menyerahkan ke mereka karena kita belum mampu," katanya seraya menjanjikan segera kelarnya peraturan presiden terkait pembentukan lembaga.
Dahlan merujuk pada sebuah fakta getir. Pada 1946, Singapura mendapat mandat dari International Civil Aviation Organization (ICAO), organisasi penerbangan sipil dunia, untuk mengontrol wilayah udara di seputaran Kepri. Kuasa yang dikenal dengan Flight Information Region (FIR) itu dilatari pertimbangan Singapura lebih mumpuni dalam soal radar dan alat pantau penerbangan.
Sejak itulah, semua lalu lintas penerbangan lokal dan internasional di atas Kepri harus mendapat izin dari menara kontrol di Singapura. Bahkan pesawat militer Indonesia harus tabik dan melapor ke kontrol udara di Changi jika ingin terbang di atas Kepri. Sementara itu, pelbagai upaya menarik kuasa dari Singapura selalu gagal di meja perundingan. Pada 1995, Jakarta justru menekan kontrak penyerahan 15 tahun hak pengelolaan wilayah udara Kepri ke Singapura. Dalam kontrak yang tak pernah diperbarui lagi itu, Jakarta hanya mensyaratkan Singapura mengutip ongkos melintas yang 'kompetitif' ke setiap pesawat komersil yang melintas di atas Kepri. Berapa keuntungan Singapura dari menguasai wilayah udara Kepri dalam lima dekade sebelumnya tak pernah diketahui.
Balik ke soal perusahaan penyelenggara jasa navigasi. Harapan perubahan datang medio September silam. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken beleid pembentukan Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia. Diundangkan per 13 September, beleid mengatur pelbagai urusan terkait kelahiran lembaga, berikut esensi tugasnya.
Dalam salinan beleid yang diperoleh SINDO Weekly awal pekan ini, lembaga disebutkan hadir untuk menjadi pengampu tunggal semua urusan navigasi penerbangan. Dalam tempo satu tahun, misalnya, lembaga bakal mengambil alih pelayanan navigasi dari PT Angkasa Pura I (AP I) dan PT Angkasa Pura II (AP II); dua perusahaan pelat merah di bidang penerbangan dan jasa kebandaraan. Berbentuk Badan Usaha Milik Negara, lembaga disebutkan tidak untuk mengejar keuntungan. "Amanat undang-undang, navigasi penerbangan merupakan kewajiban negara," kata juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan. "Ini seperti pengamanan lalu lintas jalan raya, kewajiban negara yang diserahkan ke polisi lalu lintas."
Bagian lain dari beleid mengatur detil teknis. Disebutkan, lembaga bakal menempati sebuah bangunan raksasa di atas lahan tujuh hektare lebih di Tangerang, juga bakal diisi oleh pegawai navigasi penerbangan dari AP I dan AP 2. Dengan transfer itu, kedua perusahaan bakal fokus pada bisnis jasa kebandaraan. Lembaga baru, menurut Mulya Abdi, petinggi Angkasa Pura 2, juga mengemban amanat untuk mengambil alih kewenangan pelayanan navigasi penerbangan dari bandara di luar kuasa AP I dan AP 2 (kedua perusahaan menguasai 26 bandara dari total 204 bandara domestik). "Waktunya dua tahun," kata Mulya.
Tetap Tergadai
Nah, bagaimana dengan soal kendali udara di Singapura? Dalam 60 pasal beleid, tak ada satu pun yang secara khusus menyoal kiprah lembaga dalam pengembalian kendali lalu lintas udara dari Singapura. Juru bicara Kementerian Perhubungan bilang soal FIR Singapura perlu jalur lain. "Kami akan perjuangkan di forum ICAO," kata Bambang. "Toh, itu sudah tugas undang-undang."
Pertemuan rutin Navigasi Udara Regional (Regional Air Navigation/RAN) rencananya digelar di Thailand pada 2013. Sementara itu, Pasal 458 UU No.1/2009 tentang Penerbangan mewajibkan pemerintah mengambil alih pelayanan navigasi yang didelegasikan ke negara lain paling lambat Januari 2024.
Seorang sumber di birokrasi bilang, ada 'logika tersendiri' di balik pendelegasian wilayah udara Indonesia ke Singapura. Prinsipnya, katanya, semata memudahkan pelayanan bagi pilot. "Kita bukan tak mampu mengelola, melainkan sekadar memudahkan komunikasi penerbangan," katanya. Dia bercerita kalau wilayah udara Singapura yang sempit membuat pilot harus segera berganti frekuensi tiap kali memasuki wilayah udara Indonesia.
Tapi logika ini sulit diterima. FIR menjadikan Singapura praktis punya wilayah yang jauh lebih besar dari fisik negara yang tak seberapa. FIR Singapura mencakup setiap inci Kepulauan Riau, menggergaji sebagian daratan Sumatera, mengikat Selat Karimata, mencium pantai Pontianak, merambah Singkawang, lalu jauh ke utara hingga Natuna dan Laut Cina Selatan.
Setahun mendatang, Indonesia bakal punya Perusahaan Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan. Sayang, lembaga ini tak diberi mandat kuat untuk mengambil alih kendali lalu lintas udara di seputaran Kepulauan Riau dari tangan Singapura.
Penerbangan Indonesia dalam Angka
29 Bandara Internasional
204 Bandara Domestik
20 Maskapai penerbangan terjadwal
43 Maskapai penerbangan charter
879 Armada pesawat
227 Rute penerbangan yang menghubungkan 107 kota.
Penumpang Pesawat:
2009: 44 juta orang.
2010: 52 juta orang.
2011: 60 Juta orang
Sumber : Sindo
0 komentar:
Posting Komentar