Presiden Prancis Francois Hollande terhitung lebih lambat panas dibanding Australia dalam membela warganya yang terancam hukuman mati pekan ini. Baru pada Sabtu (25/4), dia menyuarakan ancaman pada pemerintah Indonesia agar membatalkan eksekusi Serge Atlaoui (50 tahun) yang diduga pengusaha pabrik narkoba.
“Kami akan memanggil duta besar kami,” ujarnya seperti dikutip dari International Business Time.
Lebih dari itu, Hollande juga ingin menghubungi pemimpin Australia maupun Brasil. Dua negara itu juga warganya akan dieksekusi oleh kejaksaan agung di Lapas Nusakambangan.
Bila tidak meleset, eksekusi mati 10 WNA akan digelar pada Selasa (28/4) dini hari.
“Kami akan mengambil tindakan bersama negara-negara terkait, Australia dan Brasil, untuk memastikan tak ada eksekusi,” kata Hollande.
Hollande rencananya menemui PM Australia, Tony Abbott, pada 27 April mendatang membahas isu hukuman mati Indonesia.
Di luar ancaman-ancaman itu, apakah risiko lain yang dihadapi Indonesia seandainya hubungan bilateral dengan Prancis rusak?
Merujuk catatan merdeka.com, di menjelang akhir era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,Indonesia ingin bekerja sama membangun kapal selam bersama Prancis.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin telah melawat ke Paris pada 26 Juni 2014.
Kerja sama konkret, selain kapal selam, juga telah dilakukan dengan pembelian meriam Caesar 155 mm buatan PT Nexter untuk memasok TNI Angkatan Darat.
Di luar itu, Indonesia juga bekerja sama dengan pabrikan mobil Renault, asal Negeri Anggur, untuk memasok 250 mesin panser bikinan PT Pindad.
Rupanya, kerja sama pengadaan alutsista dengan Prancis masih digelar ketika Presiden Joko Widodo naik ke tampuk kekuasaan pertama kali.
Kedua pemerintahan meneken kerja sama bidang maritim, khususnya pengembangan galangan kapal.
“Pemerintah memberikan penekanan pada industri sektor maritim karena Perancis kuat dalam industri galangan kapal. Sebuah kelompok kerja akan dibutuhkan untuk membicarakan kerja sama,” kata Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto pada 17 November 2014.
Bila ancaman Hollande terbukti, maka kerja sama ini bisa terganggu.
Potensi pembelian jet tempur Dassault Aviation Rafale juga terancam batal ketika Atlaoui dieksekusi mati pekan ini.
Untuk diketahui, akhir-akhir ini Dassault Aviation gencar berpromosi ke Indonesia sehubungan dengan akan digantinya pesawat tempur F-5 Tiger milik TNI AU yang sudah tua usia.
Dassault Rafale didesain bersayap delta dipadukan dengan kanard aktif terintegrasi untuk memaksimalkan kemampuan manuver (+9 g atau -3 g) untuk kestabilan terbang. Maksimal 11 G dalam keadaan darurat. Kanard juga mengurangi laju pendaratan hingga 115 knot. Pesawat ini dapat dioperasikan dari landas pacu hanya sepanjang 400 meter.
TNI Angkatan Udara sempat kepincut melihat kemampuan jet tempur tersebut. “Kesan saya sebagai penerbang F5, setelah saya coba terbangkan Rafale, saya bandingkan dengan F5 jauh sekali, lompatan teknologinya. Kalau F5 banyak analog Rafale ini digital, radarnya juga jauh lebih canggih,” kata Mayor Penerbang Abdul Haris dari Skuadron Udara 14 wing 3 Lanud Iswahyudi. (Merdeka.com)
0 komentar:
Posting Komentar