LATAR BELAKANG
Perkembangan
dunia usaha yang semakin pesat ini ditandai oleh terjadinya perubahan
dalam bidang teknologi, sehingga memunculkan berbagai perusahaan yang
berskala produksi besar dan menyerap banyak tenaga kerja. Bidang-bidang
usaha yang tersedia juga semakin banyak sehingga semakin membuka
lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Apalagi didukung oleh adanya
kebijakan Otonomi Daerah, yang menyebabkan daerah-daerah juga turut
berlomba-lomba untuk memajukan dirinya dengan cara memberikan kesempatan
bagi perusahaan-perusahaan untuk beroperasi di daerahnya.
Dengan
adanya perubahan teknologi, khususnya dengan adanya perubahan Otonomi
Daerah di Indonesia membawakan perubahan yang cukup besar dalam
pertumbuhan perusahaan yang beroperasi Nasional maupun Internasional,
dan perusahaan tersebut menyadari bahwa dalam beropesai harus
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
Hasil riset SWA (2005) menunjukkan bahwa sebanyak 80% responden perusahaan telah menyadari pentingnya corporate social responsibility (CSR) atau tanggung
jawab sosial bagi perusahaan dan memasukkan unsur-unsur yang menjadi
tujuan tanggung jawab sosial perusahaan, penerapan CSR diperusahaan akan
menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan menaikkan
motivasi para karyawannya itu sendiri. Pihak konsumen, investor, dan
pemasok. CSR atau tanggung jawab sosial telah terbukti lebih mendukung
perusahaan dalam meningkatkan peluang pasar dan keunggulan
kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan
CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan
pertumbuhan yang meningkat.
Kotler dan Keller (2006) mengungkapkan bahwa CSR marketing yang berhasil akan memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan. Keuntungan tersebut antara lain adalah kenaikan penjualan, serta terbentuknya identitas merek yang baik. Hanya saja, agar kegiatan CSR bisa berjalan dengan efektif dan memberikan dampak yang lebih besar,
diperlukan strategi dan program yang terencana dengan baik. Terdapat
empat hal yang harus diperhatikan dalam menyusun strategi kegiatan CSR marketing, yaitu:
1. Kegiatan
CSR harus mempunyai fokus, artinya perusahaan harus memilih satu atau
beberapa tema yang menjadi fokus kegiatan CSR-nya, misalnya tema
pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, atau kesenjangan sosial. Tidak
memiliki tema yang menjadi fokus akan mengaburkan tujuan kegiatan itu
dan bisa menghambat dampak yang diharapkan.
2. Kegiatan
CSR harus dilakukan secara konsisten. Apabila perusahaan melakukan
kegiatan CSR-nya secara konsisten dalam jangka panjang, kemungkinan
besar akan mendapat kepercayaan dan akan menarik mereka untuk ikut
berpartisipasi.
3. Kegiatan CSR dihubungkan dengan brand yang dimiliki perusahaan, bertujuan untuk membetuk identitas brand yang baik lewat kegiatan CSR.
4. Perusahaan
memerekkan kegiatan CSR itu sendiri, misalnya dengan cara memberi nama,
membuat logo atau slogan tentang kegiatan CSR tersebut. Dengan demikian
diharapkan perusahaan lebih mudah mengkomunikasikan kegiatan CSR kepada karyawannya.
MASALAH
Etika bisnis dengan corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial saling berkaitan karena dengan diterapkannya tanggung jawab sosial
diperusahaan, akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang
akan menaikkan motivasi para karyawannya itu sendiri. Pihak konsumen,
investor, dan juga pemasok. CSR atau tanggung jawab sosial telah
terbukti lebih mendukung perusahaan dalam meningkatkan peluang pasar dan
keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang
menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan
dan pertumbuhan yang lebih meningkat di bandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan CSR.
CSR
juga mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil
terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip
moral yang sering digunakan adalah goldenrules, yang mengajarkan agar
seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa
yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja
dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat
terbesar bagi masyarakat atau konsumen.
LANDASAN TEORI
Kotler dan Keller (2006) menjelaskan bahwa pemasaran holistik adalah konsep yang berbasiskan pengembangan, desain, implementasi dan aktivitas proses pemasaran yang dikenali memiliki nilai ketergantungan yang cukup tinggi.
Pendekatan holistik didasari pada cara untuk mengatasi berbagi
permasalahan pemasaran yang kompleks dan luas. Karakteristik pemasaran
holistik merupakan integrasi dari empat konsep pemasaran, yaitu konsep
pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) dan pemasaran sosial (societal marketing).
Pemasaran sosial (societal marketing) merupakan
konsep yang memandang bahwa organisasi berusaha menentukan apa
keinginan, kebutuhan, dan ketertarikan atau kepentingan dari target
pasar. Organisasi kemudian memberikan nilai superior kepada konsumen
dengan cara-cara yang dapat mempertahankan atau meningkatkan
kesejahteraan konsumen dan masyarakat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut
pasar untuk dapat menyeimbangkan tiga pertimbangan dalam mengambil
keputusan mengenai kebijakan pemasaran, yaitu keuntungan perusahaan,
kepuasan konsumen, dan kepentingan masyarakat. Konsep
segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi,
fasilitasi, insentif dan teori pertukaran digunakan untuk memaksimalkan
respon yang bersifat komersial (Kotler dan Lee, 2005).
Pemasaran
sosial menggunakan konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen,
pengembangan dan pengujian konsep produk, komunikasi yang diarahkan,
pemberian fasilitas, insentif-insentif dan perubahan teori untuk
memaksimumkan tanggapan kelompok sasaran. Asumsi dasar penelitian ini
adalah bahwa konsep pemasaran sosial yang condong untuk aktivitas
komersial, sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi aktivitas
pengembangan masyarakat yang bersifat non profit.
PEMBAHASAN MASALAH
Substansi keberadaan Prinsip Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan bagi Perusahaan (Corporate Social Responsibility
yang selanjutnya disebut dengan CSR), merupakan rangka dalam memperkuat
kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan
komunitas yang terkait dengannya, baik lokal, nasioal, maupun global. Di
dalam pengimplementasiaannya, diharapakan agar unsur-unsur perusahaan,
pemerintah dan masyarakat saling berinteraksi dan mendukung, supaya CSR
dapat diwujudkan secara komprehensif, sehingga dalam pengambilan
keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawabannya dapat
dilaksanakan bersama.
Pada Bulan September tahun 2004, International Organization for Standardization
atau (ISO), sebagai induk organisasis standardisasi internasional
berhasil menghasilkan panduan dan standardisasi untuk tanggung jawab
sosial, yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility.
ISO 26000 menjadi standar pedoman untuk penerapan CSR. ISO 26000
mengartikan CSR sebagai tanggung jawab suatu organisasi yang atas dampak
dari keputusan dan aktivitanya terhadap masyarakat dan lingkungan,
melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
1. Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat,
2. Memperhatikan kepentingan dari para konsumen,
3. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional dan
4. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.
Di dalam ISO 2006, CSR mencakup 7 (tujuh) isu pokok, yaitu:
1. Pengembangan masyarakat,
2. Konsumen,
3. Praktek kegiatan institusi yang sehat,
4. Lingkungan,
5. Ketenagakerjaan,
6. Hak Asasi Manusia dan
7. Organizational Governance (Organisasi Kepemerintahan).
Berdasarkan konsep ISO 26000, maka untuk penerapan CSR hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas perusahaan yang mencakup 7 (tujuh)
isu pokok di atas. Prinsip-prinsip dasar CSR yang menjadi dasar
pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan
keputusan dan kegiatan CSR menurut Iso 26000 meliputi:
1. Kepatuhan kepada hukum,
2. Menghormati instrumen/badan-badan internasional,
3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya,
4. Akuntabilitas,
5. Transparansi,
6. Perilaku yang beretika,
7. Melakukan tindakan pencegahan dan
8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia.
Pada
kenyataannya, memang dapat kita lihat berbagai kasus pencemaran atau
kerusakaan lingkungan yang diakibatkan karena aktivitas perusahaan
kurang bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya
dan konflik antara perusahaan dengan masyrakat di sekitarnya, karena
kurang memperhatikan keadaan masyarakat tersebut. Beberapa kasus
tersebut diantaranya adalah: kasus lumpur Lapindo di Porong, pencemaran
lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, konflik antara masyarakat Papua
dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon
Mobile yang mengelola gas bumi di Arun.
Berdasarkan
atas munculnya berbagai aktivitas perusahaan yang tidak bertanggung
jawab, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di sekitarnya
dan terjadinya konflik dengan masyarakat sekitarnya, maka pemerintah
memberikan pengaturan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan di dalam peraturan perundang-undangan nasional.
Dengan
diaturnya CSR di dalam peraturan perundang-undangan, maka CSR kini
menjadi tanggung jawab yang bersifat legal dan wajib. Namun, dengan
asumsi bahwa kalangan bisnis akhirnya bisa menyepakati makna sosial yang
terkandung di dalamnya, gagasan CSR mengalami distorsi yang serius,
yaitu sebagai berikut:
1.
Sebagai sebuah tanggung jawab sosial, dengan adanya pengaturan CSR,
maka mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna
dasar CSR tersebut, yaitu sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan
kemauan bertindak. Dengan mewajibkan CSR, maka memberikan batasan kepada
ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur
derajat pemaknaannya dalam praktik.
2.
Dengan adanya kewajiban tersebut, maka CSR bermakna parsial sebatas
upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari
kehadiran sebuah perusahaan. Dengan demikian, bentuk program CSR
hanya terkait langsung dengan jenis usaha yang dijalankan perusahaan. Padahal praktek yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup dan tak langsung, seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa. Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut.
hanya terkait langsung dengan jenis usaha yang dijalankan perusahaan. Padahal praktek yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup dan tak langsung, seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa. Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut.
3.
Tanggung jawab lingkungan sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap
subyek hukum, termasuk perusahaan. Jika terjadi kerusakan lingkungan
akibat aktivitas usahanya, hal itu jelas masuk ke wilayah urusan hukum.
Setiap dampak pencemaran dan kehancuran ekologis dikenakan tuntutan
hukum, dan setiap perusahaan harus bertanggung jawab. Dengan menempatkan
kewajiban proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain tanggung
jawab sosial, hal ini cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan
sebagai kewajiban legal menjadi sekedar pilihan tanggung jawab sosial.
Atau bahkan lebih jauh lahi, justru bisa terjadi penggandaan tanggung
jawab suatu perusahaan, yakni secara sosial (menurut UU PT) dan secara
hukum (menurut UU Lingkungan Hidup).
4.
Dari sisi keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT
menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan penanggung jawab tunggal
program CSR. Di sini, masyarakat seakan menjadi obyek semata, sehingga
hanya menyisakan budaya ketergantungan selepas program, sementara negara
menjadi mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas pelanggaran.
Sebagai
upaya untuk meningkatkan pelaksanaan CSR di Indonesia, terdapat
beberapa lembaga yang sangat memberikan perhatian terhadap pelaksanaan
CSR, yaitu: Indonesia Business Link (IBL), Corporate Forum for Community Development (CFCD), dan Business Watch Indonesia (BWI).
Dalam
rangka menciptakan kemajuan pelaksanaan konsep CSR, harus didukung oleh
peranan pemerintah, baik sebagai partisipan, convenor, atau
fasilisator, dan sebagainya. Masyarakat juga dapat turut serta mendukung
konsep CSR, yaitu dengan cara memberikan informasi, saran, dan masukan
atau pendapat untuk menentukan program yang akan dilakukan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengaturan
mengenai CSR di dalam UU PT dan UU PM masih perlu diperjelas dan
disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainya, antara lain UU
Lingkungan Hidup dan dengan instrumen hukum internasional yang terkait,
diantaranya ISO 26000. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan bias
dalam pengertian dan standar pelaksanaan CSR. Selain itu agar kalangan
dunia usaha dapat melaksanakan SCR secara lebih maksimal lagi, sehingga
tujuan dari penerapan CSR pada aspek-aspek sosial dan lingkungan dapat
semakin berhasil dan mendatangkan manfaat, baik bagi perusahaan,
masyarakat, lingkungan, dan negara.
Walaupun
praktek CSR belum menjadi perilaku yang umum, diharapkan dengan adanya
pengaturan mengenai CSR di dalam UU PT dan UU PM, dapat mendorong dunia
usaha untuk melaksanakan CSR secara lebih bertanggung jawab dan tidak
memandang CSR sebagai suatu kewajiban yang memberatkan perusahaan
tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar