Seorang peneliti di Australia, 09 Mei 2015, membeberkan sebuah dokumen rahasia tahun 1983 yang berisi aksi militer Indonesia menggunakan bom napalm untuk membakar rakyat Timor Timur (Timtim). Aksi militer Indonesia menggunakan bom napalm itu juga diketahui oleh pemerintah Australia dan Amerika Serikat.
Adalah Clinton Fernandes, peneliti sekaligus lektor kepala di Akademi Angkatan Bersenjata Australia yang telah menemukan sebuah dokumen rahasia milik diplomat asal Negeri Kanguru itu. Dokumen dengan tanggal 3 Oktober 1983 berklasifikasi rahasia itu ditemukan di Arsip Nasional Australia.
Penemuan itu menjadi sebuah terobosan bagi Profesor Fernandes dalam penelitian panjangnya tentang hal-hal yang diketahui Australia terkait kejahatan perang yang dilakukan Indonesia di negara bekas jajahan Portugis itu. Dokumen terbaru itu seolah mengulangi pertanyaan atas bantahan Indonesia tentang penggunaan senjata terlarang selama 24 menduduki menduduki Timor Timur.
Salah satu dokumen yang ditemukan Dr Fernandes adalah surat dari konsulat Australia di Bali, Malcolm Mann kepada penasihat Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Dennis Richardson pada 26 September 1983. Isi dokumen itu adalah laporan dari hasil pembicaraan Malcolm dengan konsulat AS di Surabaya kala itu, Jay McNaughton.
Seperti dituturkan Malcolm dalam suratnya ke Richardson kala itu, McNaughton mengaku pernah melihat laporan intelijen yang menyebut tentara TNI Angkatan Udara memasang tangki napalm pada pesawat tempur F5 untuk digunakan di wilayah Indonesia. Tiga tahun sebelumnya, Indonesia memang mendapatkan selusin pesawat tempur buatan Northrop itu dari AS.
Menurut McNaughton, kala itu ada ahli dari AS yang dimintai tolong untuk memasang tangki-tangki napalm. Sebab, TNI AU kesulitan memasang tangki-tangki untuk napalm itu pada pesawat tempur F5.
Selanjutnya, Richardson meminta Kedutaan AS di Jakarta untuk mengonfirmasi apakah Indonesia memang telah meminta bantuan untuk memasang tangki napalm di F5. Ternyata, Richardson diberitahu bahwa ada kontraktor AS telah digaet oleh Indonesia karena tangki-tangki napalm dibuat di Italia dan diperlukan modifikasi untuk bisa dipasang di F5.
Pada awal November 1983, Richardson lantas meneruskan laporannya itu ke Kementerian Luar Nageri Australia di Canberra. Ia menambahkan dalam catatannya bahwa bantuan teknisi AS sangat erat kaitannya dengan operasi militer Indonesia di Timor Timur.
Seiring munculnya penolakan dari dunia Internasioal atas penggunaan bom napalm di Perang Vietnam, penggunaan senjata pembakar terhadap warga sipil dilarang berdasarkan konvensi PBB tahun 1980. Konvensi itu melarang senjata konvensional yang menimbulkan efek bahaya luar biasa dan menimbulkan dampak tanpa padang bulu. Hanya saja, kala itu Indonesia memang tidak ikut menandatangani Konvensi PBB itu.
Berdasarkan peneluruan Dr Fernandes atas dokumen-dokumen Kementerian Luar Negeri Australia, kala itu Kedubes Australid di Jakarta memang tidak bertindak untuk memprotes Indonesia. Bahkan pemerintahan Australia yang kala itu dipimpin Perdana Menteri Bob Hawke juga tak bereaksi karena justru sangat ingin memperbaiki hubungan dengan Indonesia demi memuluskan negosiasi soal cadangan minyak dan gas di Laut Timor.
Tuduhan awal bahwa Indonesia menggunakan bom pembakar terhadap warga sipil Timor Timur itu muncul pada tahun 2006, sebagaimana terungkap dalam laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Saksi yang dikutip dalam laporan KKR, Lucas da Costa Xavier menuturkan, pepohonan dan rerumputan terbakar begitu terkena bom yang dijatuhkan pesawat TNI AU.
“Banyak warga sipil meninggal karena meminum air yang terkontaminasi pecahan bom yang dijatuhkan dari pesawat, dan banyak lainnya tewas terbakar. Kala itu musim panas, sehingga rumput mudah terbakar,” kenangnya.
Namun, Menteri Pertahanan RI kala itu, Juwono Sudarsono membantahnya dengan menyebut serangan itu “tak pernah terjadi”. “Bagaimana bisa kami menggunakan napalm melawan warga Timor Timur? Waktu itu kami tidak punya kemampuan untuk mengimpor, apalagi membuat napalm sendiri,” kata Juwono.
Bantahan itu juga tak menghentikan Fernandes untuk mendalami kekejaman Indonesia di negeri yang kini bernama Timor Leste itu. Ia menyebut dokumen Kementerian Luar Negei Australia yang baru itu itu sangat signifikan karena menjadi bukti kuat pertama. Sebab, penggunaan bom napalm itu terungkap dari catatan resmi, dan bukan dari kesaksian warga yang selamat.
Fernandes menambahkan, kala itu pemerintahan Partai Buruh yang dipimpin Bob Hawke baru saja berkuasa dan tahu betul bahwa militer Indonesia melakukan tidak kejahatan terhadap kemansian. “Termasuk membakar orang-orang hidup-hidup dengan napalm, tapi mereka (pemerintahan Bob Hawke, red) tidak bicara dan melakukan apapun,” kata Fernandes.
Australia pun sadar dokumen rahasia itu akan mengungkap info intelijen yang sensitif dan berpotensi merusak hubungan dengan Indonesia. Karenanya, Jaksa Agung Australia telah mengetatkan informasi yang sensitif.
Namun, Fernandes tak ciut nyali. “Pemerintahan saat ini seharusnya membuka semua dokumen yang relevan sehingga kebenaran penuh akan muncul,” katanya. (theage/ara/jpnn)
(jpnn.com)
0 komentar:
Posting Komentar