Select Language

Rabu, 21 Agustus 2013

MASA DEPAN DUNIA AKAN DIKENDALIKAN ROBOT PEMBUNUH ..?

Ada
yang tak biasa di ruang sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, pada 30
Mei lalu. Kali ini rapat tak membahas rapor hak asasi manusia
negara-negara tertentu.  Rupanya ada satu isu menarik: soal robot
pembunuh.

Hari itu, seorang pengacara asal Afrika Selatan,
Christof Heyns, didapuk pimpinan sidang untuk bicara. Heyns adalah juga
Pelapor Khusus PBB untuk masalah eksekusi mati ekstra yudisial, sepihak,
dan sewenang-wenang.
Tapi Heyns tak menyinggung ihwal serdadu
dari rezim bengis yang doyan menghabisi nyawa. Yang diungkapkannya
adalah potensi mesin pembunuh pintar yang kejam, atau robot pembunuh.
Heyns menyebutnya Lethal Autonomous Robots (LARs), atau robot otonom
mematikan.

Robot cerdas itu sangat berbahaya. Bila diaktifkan,
dia bisa memilih, dan melancarkan serangan langsung ke sasaran, dan
tanpa perlu lagi peran manusia. Memang, ihwal robot ini terdengar agak
mengawang-awang. Tapi ancaman itu, kata Heyns, kian nyata. Ini kali
pertama Sidang Dewan HAM PBB mendengarkan potensi ancaman robot
pembunuh.
Pesan Heyns di sidang Dewan HAM itu adalah jangan
sampai dunia membiarkan tumbuhnya “mesin yang diberi kuasa membunuh
manusia.” Heyns mengusulkan Dewan HAM PBB mengupayakan moratorium global
atas pengembangan dan pengerahan LARs.
LARs yang dia maksud
bukanlah seperti teknologi pesawat nirawak (drone) bersenjata yang
sering dipakai AS saat ini, atau senjata jarak jauh lainnya. Mesin
pintar LARs justru punya kemampuan memutuskan sendiri kapan menyerang,
atau mengeksekusi target.
“Drone yang ada saat ini masih
dikendalikan manusia, yang memutuskan kapan senjata mematikan dibawa
pesawat itu. Sebaliknya, LARs dilengkapi komputer yang bisa memutuskan
sendiri siapa sasarannya,” kata Heyns dalam paparannya di sidang Dewan
HAM, yang didokumentasikan di laman resmi PBB.
Bila dikerahkan di
medan tempur, LARs akan membawa perubahan radikal dalam filosofi
perang. Pertimbangan kemanusiaan bisa jadi tak akan lagi berlaku.
Siapapun mereka akan dibinasakan, bila sudah menjadi sasaran oleh LARs.
“Perang
tanpa refleksi adalah pembantaian mekanis,” kata Heyns. “Selama ini
mengambil nyawa manusia harus dipertimbangkan dulu walau seminim
mungkin. Maka keputusan membolehkan mesin dikerahkan untuk menghabisi
nyawa manusia sepatutnya ditangkal di seluruh dunia,” ujar Heyns.
Heyns,
di satu sisi, mengatakan robot seperti itu  yang diberi memang belum
muncul saat ini. Namun, dia yakin sudah ada pembuatan LARs secara
rahasia, dan sistem robotik yang mampu menyerang otomatis. Senjata itu,
dalam tingkatan tertentu, sudah digunakan.
Sudah dikembangkan
Ada
sejumlah contoh pembuatan mesin-mesin yang bisa dikembangkan menjadi
LARs. Korea Selatan,
misalnya, telah mengerahkan robot pengintai dan penjaga keamanan.
Robot
buatan Samsung Techwin itu dikerahkan di zona demiliterisasi, yaitu
wilayah penyangga yang memisahkan Korsel dengan musuhnya, Korea Utara.
Sejak Perang Korea 1950-1953, dua negara itu masih bermusuhan, dan
konflik hanya diredakan melalui gencatan senjata disponsori PBB.
Heyns
menyebut robot-robot itu mampu mendeteksi target melalui sensor
inframerah. “Mereka saat ini dioperasikan oleh manusia, namun punya
‘moda otomatis,’” Heyns memperingatkan.
Bukan cuma Korea,
sejumlah negara juga mengembangkan sistem senjata otomatis.  Sistem
Harpy milik Israel, misalnya, didesain mendeteksi, dan menghancurkan
emiter radar. “Selain itu, prototip drone Taranis milik Inggris bisa
mencari, mengidentifikasi, dan melacak musuh, namun hanya bisa menembak
sasaran bila diotorisasi oleh komando misi,” kata Heyns di sidang Dewan
HAM PBB.
Amerika Serikat pun sudah mengembangkan senjata robotik.
Ini terlihat pada sistem persenjataan Phalanx milik Angkatan Laut AS,
ujar Heyns. Phalanx bisa mendeteksi, melacak, dan melancarkan serangan
berupa rudal anti kapal, dan anti pesawat terbang.
Bahkan
Departemen Pertahanan AS pun diketahui terus mengembangkan teknologi
drone, yang akan dibuat jadi “lebih pintar.” Saat ini pesawat-pesawat
nirawak itu dioperasikan secara jarak jauh oleh para petugas di ruang
kendali. Tugasnya adalah mengintai, maupun menembakkan rudal ke sasaran
tertentu.
Christian Enemark, pengamat keamanan dari Australian
National University, yakin suatu saat drone tempur akan diberi kemampuan
membunuh target tanpa perlu otorisasi dari operator. “Meski saat ini
drone itu dikendalikan dari jarak jauh oleh manusia, ada kepentingan
militer AS mengembangkan teknologi drone sehingga pesawat nirawak itu
bisa tetap terbang meski kehilangan kontak pengendali di darat,” kata
Enemark saat diwawancara stasiun radio ABC Australia.
Departemen
Pertahanan AS (Pentagon) belum membantah, atau membenarkan dugaan dari
Enemark itu. Namun, seorang pakar intelejensia buatan dan robotik
terkemuka dari Inggris, Noel Sharkey, sudah melihat tanda Pentagon
mengembangkan drone menjadi mesin pembunuh otomatis seperti LARs.
Produk
yang dikembangkan adalah X47B. Ini adalah drone tercanggih bagi
Angkatan Laut AS. Pada 14 Mei lalu senjata itu kali pertama berhasil
diluncurkan dari kapal induk. Menurut stasiun berita NBC, ujicoba
pertama berlangsung di atas kapal induk USS George H.W. Bush di lepas
pantai Virginia.
X47B ini diyakini lebih canggih dari tipe drone
lain. “Unit riset Pentagon di AS tengah mengembangkan pesawat nirawak
X47B berkecepatan supersonik, dan mampu bermanuver dengan kemampuan
G-force yang tak mampu dilakukan oleh manusia. Pesawat ini bisa
menjalani pertempuran bersenjata otomatis di mana pun di planet ini,”
kata Sharkey seperti dikutip The Observer.
Sharkey yakin dengan
dikembangkannya pesawat tempur nirawak seperti X47B, robot pembunuh
bukan lagi hanya cerita fiksi sains, namun sudah benar-benar
dikembangkan

“Di
Amerika kini lebih sering digelar pelatihan pilot drone ketimbang pilot
pesawat sungguhan.  Yang dicari adalah anak-anak muda sangat pintar main
game di komputer. Kini muncul upaya pembuatan banyak robot, yang
mungkin hanya akan diawasi oleh satu orang,” kata profesor dari
Universitas Sheffield itu.    
Selain itu, yang membedakan dengan drone lain, X47B ini bisa menjelajah sendiri, tanpa perlu kendali jarak jauh.
Menurut
Daily Mail, pesawat itu dilengkapi perangkat bernama Control Display
Unit (CDU), yang mengirim perintah kepada komputer di pesawat. Alat itu
mampu menggunakan intelejensia buatan (AI) untuk berpikir sendiri,
termasuk menentukan arah penerbangan.
Memang, untuk eksekusi
penembakan, atau menentukan sasaran, X47B masih akan dikendalikan oleh
operator dari jarak jauh. Namun drone buatan Northrop Grumman itu
disiapkan bisa bernavigasi sendiri dengan teknologi seperti GPS,
autopilot, dan anti radar.
Kecanggihan X47B ini memunculkan
banyak kritik. Penggunaan teknologi AI dalam sistem persenjataan militer
pada drone itu dikhawatirkan membuka jalan bagi pengembangan robot
pembunuh otomatis.
Kalangan petinggi Angkatan Laut AS menepis
kekhawatiran itu. Ia bilang pesawat nirawak itu tetap dikendalikan
manusia untuk tugas-tugas intelijen, pengintaian, dan penetapan target.
Walau
belum dikembangkan sepintar X47B, pengoperasian armada drone oleh
militer dan intelijen AS (CIA) sudah menuai kecaman, terutama dari
negara yang kerap menjadi sasaran operasi pesawat nirawak itu.

Ribuan tewas
Drone
tempur itu lebih sering dipakai di negara-negara yang justru tak
berperang dengan AS. Sasaran sebenarnya adalah mereka yang dicurigai
sebagai teroris al-Qaeda maupun penjahat kemanusiaan, namun tak sedikit
warga sipil yang juga menjadi korban.
Data dari Bureau of
Investigative Journalism, seperti dikutip Daily Mail, menunjukkan dalam
11 tahun di Yaman, 333 orang tewas akibat serangan drone AS. Sebanyak 47
korban adalah warga sipil, dua dari mereka masih anak-anak.
Itu
adalah data dari serangan yang telah dikonfirmasi berasal dari drone AS.
Ini belum termasuk 96 serangan lain di Yaman yang diduga dilancarkan
pesawat nirawak AS, yang membunuh hingga 445 orang, termasuk 50 warga
sipil dan 10 dari mereka anak-anak.
Di Somalia, biro itu
mencatat, dalam enam tahun terakhir sudah 27 orang yang meregang nyawa
terkena tembakan rudal dari drone. Sebanyak 15 dari mereka adalah warga
sipil yang berada di dekat sasaran.
Pakistan adalah negara yang
paling sering jadi target operasi drone CIA. Menurut data biro, dalam
sembilan tahun terakhir, drone maut AS itu membunuh 3.533 orang di
Pakistan. Mereka termasuk 884 warga sipil dan 197 di antaranya adalah
anak-anak.
Rakyat Pakistan pun marah, termasuk perdana menteri
mereka yang baru, Nawaz Sharif. “Serangan drone tidak saja pelanggaran
atas kedaulatan dan integritas teritorial Pakistan, tapi juga suatu aksi
yang sudah dinyatakan sebagai pelanggaran hukum dan Piagam PBB,” kata
Sharif.
Ironisnya, AS terus melancarkan serangan drone maut ke
Pakistan beberapa hari setelah Presiden Barack Obama mengeluarkan
pedoman baru membatasi operasi drone di mancanegara.
Makin
seringnya penggunaan drone oleh AS dan kemajuan riset X47B ini membuka
jalan bagi pengembangan robot pembunuh. “Kenyataannya, selain AS, ada 76
negara yang punya program robotik militer saat ini,” kata Profesor
Ronald Arkin dan Georgia Institute of Technology, AS.
Pengembangan
ini adalah konsekuensi makin mudahnya orang saat ini mendapat akses
teknologi canggih. “Kini kita bisa membeli sebuah drone kecil seharga
dua ratus dolar. Dua tahun lalu hanya terbatas dimiliki militer. Situasi
ini tidak saja dilihat dari kacamata Amerika. Ini sudah menjadi
perhatian global,” kata Arkin seperti dikutip stasiun berita BBC.  
Pro kontra
Memang,
robot pembunuh itu, bagi sebagian kalangan, diperlukan menghindari
banyaknya manusia menjadi korban peperangan. Maksudnya, perang di masa
datang, tak perlu lagi kirim banyak tentara manusia, tapi cukup kerahkan
robot pembunuh.
Keuntungannya, robot pembunuh bisa mengeksekusi
sasaran lebih terperinci, efisien, dan tak diganggu oleh faktor non
teknis seperti rasa balas dendam, panik, marah, atau takut. Robot pun
tidak akan kenal rasa lelah.
“Robot, dengan pemrograman yang
tepat dan perhitungan dingin, tak akan terganggu oleh gairah dan emosi,”
ujar Sam Roggeveen, pakar keamanan dari Lowy Institute, saat
diwawancara stasiun radio ABC Australia.
Profesor Arkin juga
berpendapat serupa. Menurut dia robot-robot bersenjata bisa diprogram
mematuhi hukum internasional dan etika berperang. Kata, Arkin, selama
ini toh banyak korban sipil akibat eksekusi yang dilakukan tentara
manusia. Maka, dia minta banyak pihak jangan berapriori mengenai robot
bersenjata.
“Banyak orang yang berteriak ‘Oh, robot jahat. Oh,
robot pembunuh’,” kata Arkin seperti dikutip stasiun berita BBC. “Kita
punya prajurit pembunuh di luar sana. Kekejaman terus berlangsung, dan
itu sudah terjadi sejak dikenalnya peperangan,” ujar Arkin.
Maka,
dia menekankan saat ini perlu teknologi yang mampu mengurangi jumlah
korban tak bersalah di medan perang. “Penerapan sistem robotik yang etis
bisa mengatasi masalah itu. Selama ini kita cukup bodoh, baik sebagai
bangsa maupun dunia, untuk terus berperang,” kata dia.
Tapi
Heyns, yang menjadi Pelapor Khusus PBB itu, melihat sistem persenjataan
otomatis lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Apalagi, bila mesin
tempur yang mampu mengeksekusi secara otonom, maka negara lebih mudah
memutuskan berperang.
Pertanyaan lain,  apakah mesin pembunuh
pintar itu bisa diprogram mematuhi hukum kemanusiaan internasional.
“Apakah ia bisa membedakan musuh bersenjata dengan warga sipil, dan
korban yang tidak perlu,” ujar Heyns.  Kalau tak bisa dijawab, dia minta
dunia menghentikan mesin pembunuh LARs itu.
Ia juga minta Dewan
HAM PBB menyerukan moratorium nasional atas produksi, perakitan,
pemindahan, akuisisi, pengerahan, dan penggunakan LARs sebelum ada
kerangka kerja jelas dalam membatasi senjata itu. 
Saran Heyns
itu sejalan kekhawatiran pengamat Monash University, Profesor Rob
Sparrow. Dia menilai belum ada aturan jelas soal bagaimana menindak
robot secara hukum, misalnya untuk kasus salah tembak. Salah sasaran
sangat mungkin terjadi bila menyerahkan robot menjalankan eksekusi
tembak di medan konflik.
“Susah mengadili robot. Mereka bukanlah
pihak yang bisa kita kirim ke penjara,” kata Sparrow yang turut
mendirikan Komite Internasional untuk Pengendalian Senjata Robot.  
Cara
lain adalah mengadili perwira yang bertanggungjawab mengerahkan robot
pembunuh, walau keputusan itu pun kontroversial. Komandan pengerah robot
itu mungkin bisa dikenakan tuduhan. Tapi, ada soal lain, karena
eksekusi dilakukan oleh sang robot sendiri. “Jadi, tampaknya itu tidak
adil,” kata Sparrow seperti dikutip stasiun berita ABC Australia. (Viva News) 
source

0 komentar:

Posting Komentar

hackerandeducation © 2008 Template by:
SkinCorner